Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Pertahanan memastikan bahwa bahan peledak yang digunakan para teroris bukan berasal dari produsen bahan peledak di Tanah Air atau ilegal.
"Aliran jual beli, ekspor impor bahan peledak itu tidak sembarangan dan harus mendapat izin kali pertama dari Kementerian Pertahanan," kata Direktur Teknologi Industri pada Ditjen Potensi Pertahanan, Kementerian Pertahanan Brigjen TNI Agus Suyarso di Jakarta, Selasa.
Ia menjelaskan, untuk kegiatan jual beli bahan peledak, baik untuk kepentingan militer maupun komersial harus seizin Kementerian Pertahanan, karena bahan peledak menyangkut kepentingan strategis keamanan nasional.
Kewenangan Kemhan untuk mengatur perizinan Badan Usaha Bahan Peledak sesuai Keputusan Presiden Nomor 125/1999 tentang Bahan Peledak yang merupakan salah satu kebijakan strategis nasional di bidang bahan peledak.
Keputusan presiden itu kemudian dijabarkan dalam Peraturan Menteri Pertahanan No22/2006 tentang pedoman, pengaturan, pembinaan, dan pengembangan Badan Usaha Bahan Peledak Komersial.
"Semua harus ada izin dari Kemhan sebelum ada izin dari kementerian terkait seperti BUMN, perdagangan dan perindustrian," ujar Agus.
Jadi, kalau ada teroris yang menggunakan bahan peledak kemungkinan besar bukan dari produsen resmi yang sudah ditunjuk Kemhan dan instansi terkait lainnya.
Bahkan, hasil jual beli itu dilaporan pula ke badan intelijen, Polri dan instansi lainnya.
"Kemungkinan mereka mencari dan meracik sendiri, tidak membeli atau mendapatkan secara sembunyi-sembunyi dari produsen. Kami belum menemukan indikasi bahwa bahan peledak yang digunakan teroris dari produsen resmi yang sudah ditunjuk," kata Agus menegaskan.
Teror bom kini tengah mengancam tidak saja diantara masyarakat tetapi juga ditujukan kepada pemerintah dan aparat.
Setelah ramai teror bom buku, dan sejumlah penemuan bom rakitan di ibu kota kini ancaman bom juga disebarkan melalui media jejaring sosial seperti "twitter" yang dilakukan seseorang dengan akun "Alhamazah".
(R018/M026)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011