Rafah  (ANTARA News) - Bantuan kemanusiaan Indonesia untuk rakyat Palestina di Jalur Gaza, hingga Selasa dinihari pukul 00:oo WIB (Senin malam 22.00 waktu setempat) terus mengalir, khususnya yang berasal dari unsur masyarakat Indonesia.

Wartawan ANTARA dari Rafah, perbatasan Mesir-Jalur Gaza, Selasa, melaporkan bantuan yang diserahkan itu adalah sebuah ambulan sumbangan pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan (Depkes), yang diantar oleh staf Kedubes RI di Kairo.

Sebelumnya, tiga ambulan sumbangan dari organisasi relawan "Medical Emergency Rescue Commite" (MER-C) Indonesia juga sudah masuk di Rafah, namun belum dikirim masuk ke Jalur Gaza.

Bantuan kemanusiaan juga disumbangkan oleh Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), yang juga telah datang ke Rafah pada Senin sore waktu setempat. Delegasi lain yang datang adalah dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Dompet Dhuafa Republika.

Namun, meski bantuan dari berbagai komponen unsur masyarakat itu sudah tiba di Rafah, rombongan belum diizinkan masuk oleh pemerintah Mesir.

Tim kedua MER-C Indonesia yang pada Minggu (25/1) sudah datang, namun pintu perbatasan sudah ditutup pada pukul 15.00 waktu lokal (20.00 WIB), sehingga tim tidak bisa masuk. Petugas perbatasan menjanjikan tim bisa masuk pada hari Senin, namun ditunggu hingga sore hari mereka masih tetap belum diizinkan.

Relawan yang masuk tim kedua yang dipimpin dr Arief Rachman terdiri atas 10 anggota, yakni dr Abdul Mughni Sp, dr Nur Farhanah Saefuddin SpPD dan dr Dany
Kurniadi Ramdan, Resident Bedah Syaraf.

Selain itu, juga ikut staf pendukung logistik dan umum, yaitui Abdillah Onim, Husin Hamim Alatas, Bambang Sudarmadji, Abbas Idrus Al-Habsyie, Usman Shahab bin Umar Shahab dan Bedi Abed Abdad.

Mereka menggantikan tim pertama yang telah membuka jalan bagi masuknya relawan Indonesia ke Jalur Gaza, yang telah sepekan (19-24/1) membantu menangani warga Palestina yang menjadi korban serangan Israel di RS As-Shifa.

Tim pertama adalah Ketua Presidum MER-C, dr Sarbini Abdul Murad, Presidium dr Jose Rizal Jurnalis SpOT, dr Indragiri SpAN, dan Muhammad Mursalim (logistik).

Sedangkan tim BSMI yang terdiri atas 15 anggota rombongan, juga mengalami nasib sama, yakni belum diizinkan masuk.

Pihak penjaga perbatasan Mesir, juga melakukan kebijakan sama terhadap hampir seluruh relawan medis dari berbagai negara, bahkan termasuk rombongan anggota parlemen dari Maroko.

Namun, parlemen Maroko yang sehari sebelumnya juga tidak bisa masuk, akhirnya melakukan aksi demonstrasi dengan mengusung teriakan antara lain "Nyawa Kami untuk Gaza" berkali-kali, dan akhirnya mereka bisa masuk.


Pesawat Israel

Sementara itu, berdasarkan pantauan di Rafah, meski masih dalam kondisi gencatan senjata, pesawat tempur Israel yang selama sepekan tidak mengudara, padai Senin siang, sekurangnya melakukan manuver  dua kali.

Namun, manuver itu dilakukan pada ketingggian yang hampir tidak terlihat dari perbatasan. Hanya suara pesawat tempur itu terdengar, sehingga relawan dan masyarakat yang berkumpul selalu melihat ke langit.

Dalam perkembangan terakhir, kantor berita trans-nasional melaporkan, Kelompok Fatah hari Senin mendesak pembentukan pemerintah persatuan nasional yang bisa diterima masyarakat internasional sebelum lintasan penyeberangan Gaza dibuka, dalam sikap yang tampaknya bertentangan dengan Hamas.

"Kami menginginkan pemerintah persatuan nasional yang akan mengawasi
pembangunan kembali dan lintasan-lintasan sehingga titik-titik penyeberangan bisa dibuka sepenuhnya, sehingga kita bisa membawa masuk barang-barang yang diperlukan bagi pembangunan kembali seperti semen dan baja," kata Azzam al-Ahmed, yang memimpin kelompok parlemen Fatah, kepada wartawan.

Pernyataan itu disampaikan setelah utusan-utusan dari Hamas, yang menguasai Jalur Gaza, bertemu dengan kelompok saingan mereka, Fatah, kubu Presiden Palestina Mahmud Abbas yang menguasai Tepi Barat, di Kairo untuk membahas gencatan senjata Gaza yang rapuh.

"Kami harus menjamin bahwa pemerintah yang akan datang tidak akan diboikot," kata Ahmed, menunjuk pada penolakan Barat untuk berurusan dengan pemerintah Hamas kecuali jika gerakan Islamis itu meninggalkan kekerasan dan mengakui Israel.

Ahmed menekankan bahwa Fatah harus mengambil sikap internasional,   yang mendesak Hamas memenuhi persyaratan tertentu dan agar pasukan yang setia pada Fatah kembali ke Jalur Gaza.

Sikap Fatah itu tampaknya bertentangan dengan sikap Hamas, yang mengatakan bahwa setelah perundingan yang ditengahi Mesir pada Minggu mereka ingin titik-titik penyeberangan Gaza dibuka sebelum perundingan rekonsiliasi Palestina.

Delegasi Hamas yang berada di Kairo mengatakan, mereka akan mempertimbangkan usulan Israel bagi gencatan senjata 18 bulan yang bisa diperbarui di Gaza, namun mengatakan, masalah pengawasan perbatasan Rafah-Mesir dengan Gaza "rumit dan bermasalah".

Menurut sebuah perjanjian 2005, Rafah hanya bisa dibuka untuk lalu-lntas normal jika para pengamat Uni Eropa dan pasukan yang setia pada Pemerintah Palestina yang diusir dari Gaza ikut mengawasinya.

Israel meninggalkan Jalur Gaza setelah daerah pesisir itu hancur akibat ofensif 22 hari. Mereka menyelesaikan penarikan pasukan dari wilayah yang dikuasai Hamas itu pada Rabu (21/1). (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2009