Tidak semua apa yang tertuang dalam resolusi terwujud. Hal ini perlu pula disikapi oleh si pembuat resolusi

Semarang (ANTARA) - Membuat resolusi setiap pergantian tahun atau periode tertentu merupakan suatu kegiatan positif yang makin umum dilakukan oleh banyak orang dan kalangan, termasuk anak-anak.

Sebelum mengetahui tips cara membuat resolusi bagi anak-anak, terlebih dahulu mengetahui makna resolusi. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah itu bermakna putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yang ditetapkan oleh rapat (musyawarah, sidang). Bisa pula dimaknai pernyataan tertulis yang biasanya berisi tuntutan tentang suatu hal.

Keluarga Andri Fajria, ahli observasi anak usia dini, ketika akan membuat resolusi melalui acara Majelis Keluarga. Semua anggota keluarga hadir berkumpul dalam satu lingkaran, kemudian setiap anggota menuliskan keinginan atau target masing-masing di atas kertas post-it note.

Catatan lengket ini lantas ditempelkan di dinding ruang yang sering dilewati anggota keluarga. Karena sering melewati dan membaca resolusi, mereka akan melakukan afirmasi atas resolusi tersebut.

Kertas post-it yang tertempel di dinding itu bertuliskan Our Vision: Sehat, Produktif, dan Masuk Surga Sekeluarga.

"Sesungguhnya saya dan keluarga tidak melakukan resolusi tahunan, tetapi visi jangka menengah dan jangka panjang," kata pendiri SM Surau Merantau ini.

Pada tahun 2010, anak pertama pasangan Andri Fajria dan Tik Santikasari Dewi bernama Faruq Imam Muttaqin (pria kelahiran 1999) menuliskan "25 years old: Insinyur, hafiz (penghafal Alquran), produktif dalam menulis".

Catatan Faruq ketika berusia 11 tahun itu akhirnya terwujud. Dia akhirnya hafal Alquran 30 juz pada usia 18 tahun, lulus sebagai Sarjana Perencanaan Wilayah Kota pada usia 22 tahun, dan mulai aktif menulis di media sosial (medsos).

Andri Fajria yang juga penemu talents observation lantas menjawab pertanyaan bagaimana caranya menuntun anak agar bisa membuat resolusinya sendiri hingga mewujudkannya.

Baca juga: Empat hal sederhana untuk kembangkan diri di tahun 2022

Langkah pertama, membiarkan imajinasi anak bekerja, kemudian orang tua menanyakan apa yang paling mereka inginkan. Biarkan anak menuliskan sesukanya.

Pertanyaan kedua, terkait dengan keinginan anak menjadi apa. Hal ini ada kemungkinan anak terpengaruh oleh lingkungannya, seperti melihat profesi orang tua, paman, atau anggota keluarga besar lainnya maupun tokoh di media yang sering mereka lihat.

Pertanyaan ketiga terkait dengan alasan memilih profesi tertentu. Pada tahap ini, menurut Andri, orang tua mengarahkan anak untuk membuat prioritas berdasarkan kriteria tertentu.

Pertanyaan keempat, untuk menjadi profesi itu, apa syaratnya? Ini adalah pertanyaan pamungkas untuk membuat resolusi.

Dalam tahapan ini, orang tua membimbing anak untuk mendalami profesi tersebut dan menguraikan langkah-langkah yang perlu sesuai dengan usia anaknya.

Muncul pertanyaan apakah anak usia sekolah dasar (SD) sudah layak diajak buat resolusi tahunan.

Berdasarkan teori tahapan perkembangan anak dari Jean Piaget atau teorti Piaget menyebutkan anak berusia berusia 7-11 tahun belum bisa berpikir secara abstrak atau hipotesis sehingga orang tua perlu mendampinginya ketika mereka membuat resolusi setiap tahun.

Baca juga: Psikiater: Tetap berfikir positif saat resolusi tidak tercapai

Jean Piaget adalah filsuf, ilmuwan, dan psikolog perkembangan asal Swiss yang terkenal karena hasil penelitiannya tentang anak-anak dan teori perkembangan kognitifnya.

Dalam teorinya, Piaget menyebutkan sejak usia 7 tahun anak sudah memasuki tahapan operasional konkret, atau baru bisa menerapkan logika pada objek fisik. Artinya, kata Andri, anak usia 7-11 tahun perlu pendampingan dari orang tua dalam membuat resolusinya.

Berpikiran Positif

Tidak semua apa yang tertuang dalam resolusi terwujud. Hal ini perlu pula disikapi oleh si pembuat resolusi.

Dokter spesialis kedokteran jiwa dr. Prima Kusumastuti, Sp.K.J. menyarankan agar mereka tetap berpikir positif saat resolusinya tidak tercapai guna menjaga kesejahteraan psikis.

Berpikir positif dan menerima kekecewaan adalah langkah pertama ketika resolusi lama tidak tercapai. Demikian kata Prima Kusumastuti, sebagaimana disiarkan ANTARA pada hari Senin (3/1).

Psikiater yang praktik di RSUD Blora, Jawa Tengah, ini menjelaskan bahwa seorang individu juga perlu menanamkan dalam dirinya harapan lama yang tidak tercapai bisa jadi merupakan kesempatan baru yang lebih baik, yang sebelumnya tidak pernah dia duga.

Baca juga: Ahli observasi: Resolusi tahunan bagi anak perlu pendampingan

Tahun baru biasanya identik dengan harapan baru bagi seorang individu. Sebelum membuat harapan baru, biasanya seseorang otomatis mengingat harapan lama, ada yang sudah tercapai dan ada yang belum atau tidak tercapai.

Beberapa orang sering kali merasa kecewa ketika resolusi pada tahun sebelumnya tidak tercapai. Kekecewaan merupakan rasa tidak nyaman yang menjadi bagian dari kehidupan. Makin menyangkal rasa tidak nyaman, makin sulit menghilangkannya.

Oleh karena itu, menerima kekecewaan adalah langkah pertama ketika resolusi lama tidak tercapai. Langkah selanjutnya, kata Prima, harus mencoba bersikap ramah terhadap diri sendiri.

Tulislah hal-hal baik yang terjadi selama satu tahun terakhir walaupun itu hal kecil sekalipun. Itu akan membantu ingatan.

Perlu pula mendokumentasikan hal baik yang terlupakan yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

Ketika seorang individu sudah bisa berdamai dengan kekecewaan dirinya, perlu melakukan evaluasi dan menemukan pelajaran saat harapan tidak tercapai.

Langkah berikutnya, seseorang bisa memetakan resolusi baru. Bisa dengan cara melanjutkan resolusi yang lama ataupun membuat resolusi baru yang lebih realistis.

Baca juga: Kemenkes ajak masyarakat jadikan vaksinasi resolusi 2022
Baca juga: Cara jaga kesehatan finansial sebagai resolusi tahun baru
Baca juga: Tiga pola pikir sederhana sambut tahun baru dengan semangat positif

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022