Kairo, (ANTARA News) - Kelompok Fatah pada hari Senin mendesak pembentukan pemerintah persatuan nasional yang bisa diterima masyarakat internasional sebelum lintasan penyeberangan Gaza dibuka, dalam sikap yang tampaknya bertentangan dengan Hamas.

"Kami menginginkan pemerintah persatuan nasional yang akan mengawasi pembangunan kembali dan lintasan-lintasan sehingga titik-titik penyeberangan bisa dibuka sepenuhnya, sehingga kita bisa membawa masuk barang-barang yang diperlukan bagi pembangunan kembali seperti semen dan baja," kata Azzam al-Ahmed, yang memimpin kelompok parlemen Fatah, kepada wartawan seperti dikutip AFP.

Pernyataan itu disampaikan setelah utusan-utusan dari Hamas, yang menguasai Jalur Gaza, bertemu dengan kelompok saingan mereka, Fatah, kubu Presiden Palestina Mahmud Abbas yang menguasai Tepi Barat, di Kairo untuk membahas gencatan senjata Gaza yang rapuh.

"Kami harus menjamin bahwa pemerintah yang akan datang tidak akan diboikot," kata Ahmed, menunjuk pada penolakan Barat untuk berurusan dengan pemerintah Hamas kecuali jika gerakan Islamis itu meninggalkan kekerasan dan mengakui Israel.

Ahmed menekankan bahwa Fatah harus mengambil sikap internasional, yang mendesak Hamas memenuhi persyaratan tertentu dan agar pasukan yang setia pada Fatah kembali ke Jalur Gaza.

Sikap Fatah itu tampaknya bertentangan dengan sikap Hamas, yang mengatakan bahwa setelah perundingan yang ditengahi Mesir pada Minggu mereka ingin titik-titik penyeberangan Gaza dibuka sebelum perundingan rekonsiliasi Palestina.

Delegasi Hamas yang berada di Kairo mengatakan, mereka akan mempertimbangkan usulan Israel bagi gencatan senjata 18 bulan yang bisa diperbarui di Gaza, namun mengatakan, masalah pengawasan perbatasan Rafah-Mesir dengan Gaza "rumit dan bermasalah".

Menurut sebuah perjanjian 2005, Rafah hanya bisa dibuka untuk lalu-lntas normal jika para pengamat Uni Eropa dan pasukan yang setia pada Pemerintah Palestina yang diusir dari Gaza ikut mengawasinya.

Israel meninggalkan Jalur Gaza setelah daerah pesisir itu hancur akibat ofensif 22 hari. Mereka menyelesaikan penarikan pasukan dari wilayah yang dikuasai Hamas itu pada Rabu (21/1).

Jumlah korban tewas Palestina mencapai sedikitnya 1.300, termasuk lebih dari 400 anak, dan 5.300 orang cedera di Gaza sejak Israel meluncurkan ofensif terhadap Hamas pada 27 Desember.

Di pihak Israel, hanya tiga warga sipil dan 10 prajurit tewas dalam pertempuran dan serangan roket.

Selama perang 22 hari itu, sekolah, rumah sakit, bangunan PBB dan ribuan rumah hancur terkena gempuran Israel, dan Pemerintah Palestina menyatakan jumlah kerugian prasarana saja mencapai 476 juta dolar.

Penghentian serangan Israel dilakukan setelah negara Yahudi tersebut memperoleh janji dari Washington dan Kairo untuk membantu mencegah penyelundupan senjata ke Gaza, hal utama yang dituntut Israel bagi penghentian perang.

Kekerasan Israel-Hamas meletus lagi setelah gencatan senjata enam bulan berakhir pada 19 Desember.

Israel membalas penembakan roket pejuang Palestina ke negara Yahudi tersebut dengan melancarkan gempuran udara besar-besaran sejak 27 Desember dan serangan darat ke Gaza dalam perang tidak sebanding yang mendapat kecaman dan kutukan dari berbagai penjuru dunia.

Kelompok Hamas menguasai Jalur Gaza pada Juni tahun 2007 setelah mengalahkan pasukan Fatah yang setia pada Presiden Palestina, Mahmud Abbas dalam pertempuran mematikan selama beberapa hari.

Sejak itu wilayah pesisir miskin tersebut diblokade oleh Israel. Palestina pun menjadi dua wilayah kesatuan terpisah -- Jalur Gaza yang dikuasai Hamas dan Tepi Barat yang berada di bawah pemerintahan Abbas.

Uni Eropa, Israel dan AS memasukkan Hamas ke dalam daftar organisasi teroris.

Ehud Olmert yang akan mengakhiri tugas sebagai PM Israel telah memperingatkan mengenai konfrontasi yang akan segera terjadi dengan Hamas meski gencatan senjata yang ditengahi Mesir diberlakukan pada 19 Juni.(*)


Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009