Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu mengatakan bahwa pencabutan laporan korban kekerasan seksual di Pekanbaru dapat melukai rasa keadilan publik yang melihat secara awam.
Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis, setelah pencabutan laporan tersebut, penahanan terhadap tersangka AR langsung ditangguhkan dan hanya diwajibkan lapor dua minggu sekali.
Menurut Edwin, publik yang melihat secara awam akan menduga bahwa pencabutan laporan tersebut dikarenakan keluarga pelaku yang merupakan anggota DPRD dan menggunakan pengaruhnya untuk menekan korban agar berdamai dan pada ujungnya menangguhkan penahanan pelaku.
”Polisi tidak bisa menghentikan proses penyidikan dengan bersandar adanya persetujuan perdamaian antara korban/keluarganya dengan pelaku, mengingat perkosaan adalah delik biasa. Jadi, meskipun korban/pelapor telah mencabut laporannya, kepolisian tetap berkewajiban memproses perkara tersebut,” ujar Edwin.
Baca juga: LPSK sebut pengusutan kasus kekerasan seksual di ponpes berkat sinergi
Baca juga: LPSK ingatkan lindungi kebutuhan anak korban perkosaan di pesantren
Baca juga: LPSK: Negara pulihkan 3.692 korban pelanggaran HAM berat
Edwin menambahkan, pihak kepolisian perlu melakukan pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang memfasilitasi proses perdamaian dan kemudian berujung penangguhan penahanan terhadap pelaku untuk memastikan apakah langkah mereka benar-benar menerapkan prosedur atau diduga terjadi pelanggaran.
Jika perdamaian tersebut dimaknakan sebagai upaya restorative justice, lanjut Edwin, Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana memiliki prinsip pembatasan. Misalnya, syarat formil salah satunya adalah semua tindak pidana dapat dilakukan restorative justice terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia.
”Pemerkosaan ini korbannya manusia. Jika benar dilakukan langkah-langkah untuk mendamaikan, tindakan tersebut telah melanggar Surat Edaran Kapolri dimaksud,” kata dia.
Lebih lanjut, Edwin berpandangan bahwa situasi di mana penanganan kasus-kasus kekerasan seksual yang menimbulkan kontroversi semakin menguatkan pentingnya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Bahkan, Presiden Joko Widodo juga telah memberikan pesan kuat agar segera dilakukan pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
LPSK, tegas Edwin, mendukung niat Kapolri untuk membentuk Direktorat Layanan Perempuan dan Anak di Bareskrim Polri agar anggota kepolisian memiliki fokus penanganan perkara dan mendapatkan arahan kebijakan dan supervisi yang tepat.
Dalam tiga tahun terakhir, catatan LPSK menunjukkan perlindungan dalam perkara-perkara kekerasan seksual cenderung mengalami peningkatan. Pada 2019 terdapat 359 pemohon, 2020 terdapat 245 pemohon, dan pada 2021 terdapat 482 Pemohon.
Kecenderungan naiknya permohonan perlindungan pada perkara kekerasan seksual hendaknya menjadi perhatian dan keprihatinan bersama.
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2022