Jakarta (ANTARA News) - Dua ibu rumah tangga, yakni Manisa (50) dan Saodah (32), di Jakarta, Selasa, bergabung dalam aksi mogok makan dengan menjahit mulut untuk menuntut ganti rugi sebagai korban atau pihak yang dirugikan karena tinggal di bawah instalasi Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET). Manisa dan Saodah yang Selasa ini menjahit ujung kiri dan kanan mulut mereka untuk mengikuti aksi, kini tinggal di sebuah saung yang terletak di pelataran bekas Kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Manisa, warga Desa Waringin Jaya (Bogor) yang memiliki tujuh anak dan enam cucu, serta Saodah, ibu empat anak asal Desa Ciseeng (Bogor) tinggal di tempat yang sama dengan empat lelaki lain yang sudah melakukan aksi tersebut sejak 27 Desember 2005, yakni warga Sumedang bernama Tarman (54), Romli (39) asal Bogor, Nurdin (42) warga Rancaekek dan Jajang (39) asal Cianjur. Koordinator aksi, Mustar Bona Ventura mengemukakan kedua ibu rumah tangga telah berbulat hati untuk melaksanakan aksi mogok makan sampai pemerintah dan PT PLN memperhatikan tuntutan mereka dan memberikan ganti rugi kepada korban SUTET. "Sebelum dijahit mulutnya, baik ibu Saodah maupun Manisa telah menyatakan siap mengikuti aksi walau sampai mati. Mereka juga rela meninggalkan keluarganya," kata Mustar. Kedua orang itu menurut Mustar menyatakan siap berjuang demi kebaikan anak cucu mereka. Mustar menjelaskan Saodah dan Manisa memutuskan bergabung dengan aksi tersebut karena pemerintah dan PT PLN belum juga memberikan perhatian walaupun aksi keempat rekannya telah memasuki hari ke-20. Saat ini kondisi keempat lelaki yang melakukan aksi mogok makan dengan menjahit mulutnya terlihat sangat buruk, tubuh mereka tampak sangat lemah karena sudah 20 hari tidak makan dan minum. Lebih lanjut Mustar menjelaskan sudah semestinya Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi (Permentamben) tahun 1992 yang meniadakan pemberian ganti rugi bagi warga yang tinggal di bawah SUTET segera dicabut dan negara kembali mengacu pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan Indonesia yang memberikan hak ganti rugi bagi warga yang tinggal di bawah SUTET. Ia mencontohkan saat pemerintah membangun SUTET pada 1974 dan 1982 warga yang tinggal di bawah jalur itu memperoleh ganti rugi. Saat ini sedikitnya 149 desa berada di kawasan SUTET di sepanjang jalur instalasi listrik Jawa-Bali yang harus diperhatikan keselamatannya oleh pemerintah. Terkait dengan hal itu Mustar menjelaskan bahwa ia telah mengajukan peninjauan kembali atau Judicial Review Permentamben yang meniadakan ganti rugi itu namun belum ada putusan. (*)
Copyright © ANTARA 2006