Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) akan membeli lebih banyak obligasi pemerintah hingga mencapai Rp50 triliun untuk dipakai sebagai instrumen menstabilkan nilai tukar rupiah, kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Miranda S. Goeltom. "Sekarang sudah kumpul lebih dari Rp10,5 triliun, tetapi itu tidak cukup. Kita harus punya sekitar Rp50 triliun untuk bisa jadi alat moneter," kata Miranda di Jakarta, Selasa. Namun, menurut dia, untuk membeli obligasi dari pasar sekunder sebanyak itu harus dilakukan dengan hati-hati karena bisa menekan pasar, sehingga harga obligasi pemerintah menjadi naik. "Kita sedang bicarakan bagaimana caranya agar bisa membeli obligasi pemerintah dengan tidak melanggar undang-undang, tetapi bisa menambah stok," katanya. Dijelaskannya tambahan stok obligasi pemerintah ini bisa dipakai BI sebagai instrumen moneter yang bisa berpengaruh menstabilkan nilai tukar rupiah dan mengefisienkan perdagangan di pasar uang. "Kita harapkan pasar repo obligasi pemerintah pada tahun ini menjadi lebih likuid sehingga bisa mendorong kegiatan di pasar sekunder," katanya. Rupiah menguat Mengenai nilai tukar rupiah, Miranda Goeltom meyakini menjelang akhir tahun ini akan lebih menguat bila dibandingkan dengan posisi awal tahun. Namun, katanya, hal itu hanya bisa terjadi jika masuknya investasi asing langsung (FDI) yang didorong dengan sejumlah perbaikan, seperti infrastruktur, perbaikan di bidang penegakan hukum dan peraturan lainnya. Pengamat ekonomi Tony Prasetyantono menanggapi penguatan rupiah belakangan ini, mengatakan BI sebaiknya menjaga nilai tukar rupiah di sekitar Rp9.400 sampai Rp9.500 per dolar AS agar tidak mengganggu perkembangan sektor riil dan nilai ekspor. "Kalau lebih kuat dari Rp9.400 per dolar AS, rupiah menjadi "over value" sehingga tidak baik untuk ekspor dan sektor riil. Namun, jangan melemah melebihi Rp10.000, karena itu tidak bagus untuk kondisi makro," katanya. Sedangkan pengamat pasar uang Pardi Kendi mengatakan melemahnya nilai tukar rupiah dalam dua hari ini menjadi Rp9.500 per dolar AS setelah sempat menguat hingga Rp9.370 per dolar AS pada pekan lalu diakibatkan aksi ambil untung (profit taking) sejumlah pemain pasar uang dan pasar modal. "Kita lihat seberapa jauh aksi 'profit taking' ini dilakukan. Tetapi dari pelemahan dua hari ini, kelihatannya belum semua investor melakukan aksi ini," katanya. Dijelaskannya penguatan nilai tukar belakangan ini lebih disebabkan masuknya arus dana jangka pendek di pasar saham, obligasi dan SBI, sehingga mudah sekali dana itu keluar lagi akibat aksi ambil untung. (*)
Copyright © ANTARA 2006