Jakarta (ANTARA News) - Direktur Kajian Politik Center for Indonesian National Policy Studies (CINAPS), Guspiabri Sumowigeno, mengatakan bahwa pemberantasan korupsi terhalang oleh koneksi elite di Asia Tenggara.
"Masyarakat jangan terlalu berharap Nunun Nurbaeti dan Nazarudddin bisa dikembalikan dan diproses hukum di Tanah Air," kata Guspiabri kepada ANTARA News, di Jakarta, Minggu.
Ia mengatakan, proses hukum terhalang karena mungkin ada koneksi-koneksi elite antar negara di Asia Tenggara yang dapat mengatasi semua konvensi internasional ataupun kerangka kerjasama formal di bidang hukum baik yang bersifat bilateral maupun multilateral kawasan.
"Kerangka regional bisa tidak efektif akibat dibatasi kedaulatan masing-masing negara, dan di kawasan Asia Tenggara ini, elite politik masih dapat mempengaruhi sistem hukum," ujarnya.
Ia khawatir bahwa berlarutnya upaya mengembalikan Nunun dan kemungkinan juga Nazaruddin akan ditangkap publik nasional sebagai indikasi adanya politik transaksional elite antar negara di kawasan yang berlangsung secara tidak transparan pada rakyat masing-masing negara.
Dikatakannya, Indonesia sedang memasuki babak baru korupsi politik dan ini ditangkap sebagai peluang oleh negara-negara di kawasan untuk mendapatkan kepentingan negaranya di Indonesia.
Guspiabri menilai, pelarian dua tokoh itu kedepan bisa menjadi modus baru korupsi oleh kekuatan politik di Tanah Air. Bila ada kasus terungkap oleh lembaga yang cukup kredibel seperti KPK.
Pelaku, katanya, dengan dukungan elite setempat akan disembunyikan di negara tertentu dan nantinya mereka kembali ke Tanah Air setelah setting politik domestik berubah dan secara politis mereka mampu mendikte proses hukum, sehingga status tersangka bisa ditanggalkan.
Menurut dia, ada harga mahal yang harus dibayar Indonesia untuk hal ini. Kemungkinan bentuknya adalah konsesi bisnis yang menguntungkan atau barter tindakan ilegal. Kalaupun belum ada kepentingan riil hari ini yang bisa ditransaksikan, setidaknya langkah itu adalah investasi untuk memelihara koneksi dan lobbi politik. "Suatu saat utang budi ini harus dibayar juga. Artinya, pintu masuk kepentingan asing menjadi makin banyak serta sulit dikontrol dan disisi lain, kepentingan nasional Indonesia bisa dikorbankan untuk kepentingan kelompok politik tertentu," jelasnya.
Dengan konstruksi "memberi dan menerima" (take and give) seperti ini, kata Guspiabri, bukan tidak mungkin hal ini sudah mungkin terjadi. Prosesnya, juga mudah. Contohnya, soal Nunun yang katanya sudah keluar dari Thailand, apakah benar, karena kita hanya punya satu informasi yang dikeluarkan imigrasi Thailand dan kita tak mungkin mencari informasi pembanding.
Dikatakannya, bila benar bahwa proses pelarian Nunun dan Nazaruddin bukan hanya melibatkan elite politik Tanah Air tetapi sudah melibatkan kerjasama dengan elite politik negara lain, maka prospek pengembalian mereka dalam waktu dekat ini hampir nihil.
"Dengan ini, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bukan saja terancam pelemahan melalui tekanan parlemen tetapi juga kerjasama elite lintas negara kawasan," katanya.
Untuk mencegah kemungkinan berkembangnya modus baru korupsi politik di Tanah Air yang melibatkan elite kawasan, masalah ini membutuhkan tekanan politis dari rakyat Indonesia sendiri.
"Masyarakat kita sendiri sepertinya juga ambivalen atau mendua, karena sering menyatakan kecewa dengan negara tetangga yang kerap disebut melindungi koruptor, tetapi tetap senang untuk jadi turis disana," katanya menambahkan.
(T.F006)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011