Tidak boleh ada ketidakadilan di muka bumi ini. Adil bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada alam,"

Pontianak (ANTARA News) - "Adil ka`talino bacuramin ka`saruga basengat ka`jubata", mungkin asing terdengar bagi sebagian orang. Namun kata-kata itu, seperti sudah menyatu dalam jiwa sebagian besar warga Dayak di Kalimantan Barat.

Kalimat tersebut, sering kali menjadi sapaan pembuka dalam suatu acara atau pertemuan, baik resmi maupun tidak di Provinsi Kalbar. Bahkan Gubernur Kalbar, Cornelis, selalu memulai sambutannya di depan tamu dan undangan dalam suatu perhelatan resmi dengan sebaris kalimat tersebut.

Misalnya saja, saat akan memberikan sambutan dalam pembukaan Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat VIII dan Hari Kesatuan Gerak PKK ke-39 di Sentra Bisnis A Yani Mega Mall Pontianak, Selasa (31/5).

Acara tersebut dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono. Cornelis, dengan percaya diri menggunakan salam khas suku Dayak tersebut.

"Adil ka`talino bacuramin ka`saruga basengat ka`jubata", lantas dibalas sebagian tamu yang paham, dengan perkataan "Arus..., arus..., arus" Itulah "salam" Dayak.

Tepatnya lagi, sebuah falsafah yang kini semakin populer di kalangan masyarakat Kalbar. Sebaris kalimat yang tidak jarang disebut sebagian orang sebagai salam Dayak tersebut, kini selalu dikumandangkan dalam setiap perhelatan yang melibatkan masyarakat adat Dayak.

Ketua Harian Dewan Adat Dayak Kalbar, Yakobus Kumis, membenarkan bahwa sebaris kalimat tersebut merupakan falsafah hidup masyarakat Dayak.

Diambil dari Bahasa Kanayatn, yakni bahasa yang biasa digunakan warga Dayak "Ahe" yang bermukim di Kabupaten Pontianak, Landak, Bengkayang dan kini di Kota Pontianak.

"Adil ka`talino" artinya harus bersikap adil kepada sesama manusia.

"Bacuramin ka`saruga" artinya kita harus bercermin, berpandangan hidup seperti perkataan baik di surga. "Basengat ka`jubata" bahwa kehidupan manusia itu tergantung kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Lantas, dijawab dengan teriakan "Arus, arus, arus" (sebanyak tiga kali), yang artinya "amin", atau pun "ya", "terus-terus mengalir" (seperti air) dan "terus hidup".

"Intinya, kita harus bersikap adil dan berbuat adil kepada sesama manusia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa," katanya.

Menurut Yakobus Kumis, sebaris kalimat tersebut tidak muncul begitu saja. Melainkan melalui olah pikir sejumlah tokoh Dayak dan dibahas dalam suatu pertemuan. Dia menyebut tiga nama tokoh Dayak yang menjadi perumus sehingga lahirnya falsafah tersebut.

Mereka adalah Bahaudin Kay, Ikot Rinding, dan RA Rachmat Sahudin. Baik Bahaudin Kay maupun Rachmat Sahudin kini telah meninggal dunia. Sementara Ikot Rinding, sejak lama tidak muncul ke muka publik karena sakit.

Falsafah itu dikukuhkan pertama kali dalam Musyawarah Adat Naik Dangau pertama tahun 1985 di Anjungan, Kabupaten Pontianak.

Kata "Auk" yang semula menjadi perkataan sahutan (menjawab) salam tersebut, oleh Dewan Adat Dayak Kalbar pada tahun 2002, diganti menjadi "Arus" dan diucapkan sebanyak tiga kali.

Agaknya karena alasan tidak bermakna, selain berarti "Ya" (dalam bahasa percakapan sebagian warga di Kalbar) maka digantilah kata "Auk" itu menjadi "Arus".

Dalam perkembangannya, sejak Musyawarah Nasional Kedua Dewan Adat Dayak se-Kalimantan pada Juni 2006, falsafah tersebut ditetapkan menjadi salam Dayak secara nasional.

Pada 8 Agustus 2010 "Adil ka`talino bacuramin ka`saruga basengat ka`jubata" menjadi falsafah hidup bagi masyarakat Dayak sedunia yaitu pada saat peluncuran Borneo Dayak Forum di Kuching, meliputi Kalimantan, Kuching (Sarawak), Sabah dan Brunei Darussalam.

Maria Goreti, mantan jurnalis yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah RI menganggap falsafah hidup tersebut merupakan spirit yang berasal dari Tuhan.

Menurut dia, falsafah hidup atau sikap batin paling dasar tersebut memiliki arti adil kepada manusia, bercermin di surga, napas semuanya tergantung kepada Tuhan.

"Spirit, jiwa atau pun semangat itu berasal dari Tuhan," katanya.

Secara harfiah atau arti kata yang paling mendasar adalah "keadilan bisa diwujudkan di bumi dan di surga". Di mana pun, manusia harus dapat berlaku adil, bukan hanya kepada sesama manusia, tetapi juga kepada makhluk hidup seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan.

Dia mengaku terkesan dengan falsafah tersebut sejak pertama kali ditetapkan sebagai pandangan hidup masyarakat Dayak. Falsafah itu merupakan kesepakatan yang lahir agar ada harmonisasi antara manusia dan alam.

Ada harmonisasi antarmakhluk yang hidup di bumi, karena sama-sama hidup di bumi atau membumi.

Menurut dia lagi, falsafah hidup itu dirumuskan oleh sejumlah tokoh Dayak dalam suatu pertemuan. Mereka adalah Bahaudin Kay, Ikot Rinding dan RA Rachmat Sahudin.

"Tetapi saya rasa, masih ada yang lainnya, termasuk Laurentius Bakweng yang dari Sungai Ambawang (Kabupaten Pontianak)," kata mantan wartawan majalah Kalimantan Review, sebuah majalah pemberdayaan masyarakat adat Dayak di Kalbar itu.

Falsafah itu lahir tidak hanya dalam sekali pertemuan para tokoh perumus tersebut. Tetapi melalui pertemuan yang berulang, sampai lahirlah kalimat yang tampak membumi atau menyatu dengan alam tersebut.

Para perumus
Maria Goreti yang kini hari-harinya lebih banyak dihabiskan di Jakarta itu, mengenal secara dekat salah satu tokoh perumus falsafah tersebut, yakni Bahaudin Kay yang berasal dari satu kampung dengannya di Pahauman, Kabupaten Landak.

"Beliau biasa disapa Bapak Elen, dalam tradisi masyarakat Dayak, seorang laki-laki yang sudah menikah dan punya anak, maka dalam kehidupan sehari-harinya akan disapa dengan panggilan nama anak tertuanya," kata Maria.

Kegiatan sehari-hari Bahaudin Kay saat masih hidup, adalah menjadi hakim pada sidang adat.

Misalnya saja ketika ada laki-laki Dayak duduk berduaan "mojok" dengan perempuan yang sudah memiliki suami. Maka laki-laki dan perempuan itu akan kena hukum adat yang konsesinya dalam bentuk tempayan dan harus dibayar.

"Jika mojok, `sumbang mata` hukumannya itu," kata dia. Dan menjadi tugas Bahaudin Kay sebagai `timanggong` untuk memberikan hukuman kepada pelaku pelanggar adat.

Sementara RA Rachmat Sahudin dikenal sebagai mantan anggota DPRD dari kabupaten dan provinsi Kalbar selama 5 periode. Terakhir, sebelum tutup usia pada 13 Agustus 2009, Rachmat Sahudin duduk sebagai anggota DPRD Kalbar periode 2009-2014.

Menurut Maria, tokoh Dayak tersebut pernah menyatakan "Adil ka`talino bacuramin ka`saruga basengat ka`jubata" memiliki makna yang sangat dalam.

"Tidak boleh ada ketidakadilan di muka bumi ini. Adil bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada alam," kata Maria, mengutip pernyataan yang pernah disampaikan pria kelahiran Apo, Menjalin, Kabupaten Landak.

Rachmat Sahudin pernah menyatakan, alam sebagai tempat yang dihormati. "Makna ini yang hebat. Yang saya pahami. Tetapi sayangnya falsafah itu belum diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris," katanya.

Tokoh lainnya, Ikot Rinding, menurut beberapa sumber pernah menjadi anggota MPR RI Utusan Daerah periode 1999-2004.

Kemudian Laurentius Bakweng, pernah bersama-sama Ikot Rinding duduk sebagai anggota DPRD Kalbar.

Bagi Maria yang merupakan generasi muda Dayak, falsafah "Adil ka`talino bacuramin ka`saruga basengat ka`jubata" dapat dipopulerkan dalam pertemuan-pertemuan umum karena tidak bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan ketuhanan.

Menurut dia, slogan tersebut hendaknya dipublikasikan bukan hanya untuk masyarakat Dayak tetapi juga untuk masyarakat luas. Karena jika itu dihidupkan terus niscaya Kalbar akan selalu aman.

"Jika bisa begitu, bagus sekali. Saya terbiasa mengucapkannya," kata perempuan Dayak tersebut.

Maria mengakui masih banyak generasi muda Dayak sendiri yang tidak memahami falsafah tersebut. "Susahnya tradisi kita oral (lisan) dan jarang dituliskan. Sehingga banyak yang tidak paham," katanya.

Sebagai salah satu generasi muda, ia meyakini meski banyak distorsi (penyimpangan atau pemutarbalikan) tetapi falsafah tersebut mempunyai nilai dan makna, salah satunya harus berlaku adil kepada semua makhluk, sehingga setiap yang mendengarkan salam tersebut, selalu mengingatnya.

"Tidak terkalahkan," kata Maria Goreti.
(N005/H-KWR)

Pewarta: Nurul Hayat
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011