Yerusalem (ANTARA News) - Perdamaian abadi antara Palestina dan Israel hanya bisa terwujud jika Hamas dilibatkan, kata kelompok mantan negarawan dan diplomat dalam sebuah surat yang dipublikasikan Jumat.
Dalam surat yang dialamatkan pada Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton dan ketua kebijakan luar negeri Uni Eropa (EU) Catherine Ashton itu, 24 mantan tokoh internasional memperingatkan bahaya menolak perjanjian rekonsiliasi saat ini antara Hamas dan Fatah, yang bertujuan mengakhiri tahun-tahun permusuhan mematikan antara kedua kubu Palstina yang bersaing itu.
Surat itu ditandatangani antara lain oleh empat mantan perdana menteri EU, termasuk Massimo D`Alema (Italia) dan Poul Nyrup Rasmussen (Denmark), serta 11 mantan menteri luar negeri, termasuk Hubert Vedrine (Prancis) dan Gareth Evans (Australia).
Mantan Menteri Luar Negeri Israel Shlomo Ben-Ami dan pejabat kawakan Palestina Hanan Ashrawi juga menandatangani surat itu.
Israel mengecam perjanjian rekonsiliasi Hamas-Fatah dan menyebutnya sebagai "kemenangan besar bagi terorisme", sementara Presiden AS Barack Obama menganggapnya sebagai "rintangan besar bagi perdamaian".
Namun, surat para mantan negarawan itu bersikeras bahwa perdamaian abadi hanya bisa tercapai dengan kepemimpinan Palestina yang bersatu, dan rekonsiliasi itu merupakan prasyarat untuk mengakhiri konflik.
"Rekonsiliasi merupakan... prasyarat untuk mencapai solusi dua negara. Itu bukan halangan," kata surat itu, yang membidik pernyatan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang mendesak Mahmud Abbas, presiden Palestina yang juga pemimpin Fatah, memilih antara perdamaian dengan Hamas atau perdamaian dengan Israel.
"Meminta Fatah memilih antara mencapai perdamaian dengan Hamas atau perdamaian dengan Israel merupakan pilihan bohong: perdamaian abadi dengan Israel hanya bisa terwujud jika Hamas disertakan," kata surat itu.
Menurut surat itu, dengan mendukung persatuan Palestina, AS dan EU memiliki peluang untuk menunjukkan komitmen mereka bagi solusi dua negara.
Perjanjian persatuan yang ditandatangani Hamas-Fatah pada awal Mei itu menetapkan pembentukan pemerintah sementara yang terdiri dari anggota independen untuk meletakkan landasan bagi pemilihan legislatif dan presiden dalam waktu satu tahun.
Pejabat senior Fatah Nabil Shaath mengatakan bulan lalu, ia memperkirakan pembentukan final pemerintah disepakati sebelum 6 Juni, namun hingga kini belum ada pengumuman mengenai susunan pemerintah.
Kedua kelompok itu dikabarkan masih melakukan negosiasi mengenai siapa yang akan menjadi perdana menteri. Pemimpin Fatah yang juga Presiden Palestina Mahmud Abbas mendukung perdana menteri saat ini, Salam Fayyad, namun Hamas berkeberatan.
Perjanjian rekonsiliasi itu juga mendesak kedua pihak menangani permasalahan mengganjal lain, termasuk pembebasan tahanan politik dan integrasi pasukan keamanan mereka masing-masing pada akhirnya.
Perjanjian itu bertujuan mengakhiri tahun-tahun persaingan antara kedua kelompok itu, yang memuncak pada 2007, setahun setelah Hamas mencapai kemenangan mengejutkan dalam pemilihan umum legislatif.
Kelompok Hamas menguasai Jalur Gaza pada Juni tahun 2007 setelah mengalahkan pasukan Fatah yang setia pada Presiden Palestina Mahmud Abbas dalam pertempuran mematikan selama beberapa hari.
Sejak itu wilayah pesisir miskin tersebut dibloklade oleh Israel. Palestina pun menjadi dua wilayah kesatuan terpisah -- Jalur Gaza yang dikuasai Hamas dan Tepi Barat yang berada di bawah pemerintahan Abbas.
Uni Eropa, Israel dan AS memasukkan Hamas ke dalam daftar organisasi teroris, demikian AFP melaporkan. (M014/S008/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011