Hal tersebut dikemukakan oleh Suryadi Mardjoeki, Senior Manager Direktorat Energi Primer PLN, dalam diskusi “Domestic Market Obligation untuk LNG,” di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta, Kamis.
Suryadi juga meminta pemerintah agar segera menyiapkan infrastruktur pipa gas secara terpadu. Tidak hanya itu, pemerintah perlu menyiapkan manajemen gas yang mengatur kebutuhan gas secara nasional, baik untuk PLN maupun untuk industri yang lain.
PLN saat ini kekurangan pasokan gas hingga 1.000 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). "Sejumlah PLTGU besar seperti Tanjung Priok, Muara Karang, Muara Tawar, Grati, dan Tambak Lorok tidak mendapat gas sejak beroperasi," katanya.
Menurut Suryadi, Indonesia sulit menjadi negara industri dan bahkan menyebabkan deindustrialisas selama masih ada kekurangan gas. "Persoalan pasokan gas ke domestik ini, merupakan masalah serius yang harus mendapat penanganan segera," ujarnya.
Suryadi mengharapkan, pemerintah mempunyai terobosan yang mempercepat penyediaan gas buat domestik. Suryadi menyarankan, mustinya pemerintah membuat kebijakan harga gas. Saran lain, pemerintah membuat rencana penyediaan infrastruktur gas secara komprehensif di seluruh Indonesia sesuai neraca gas. Terakhir, pemerintah hendaknya meyusun manajemen alokasi gas yang memihak kepada kepentingan domestik.
Sementara itu Marwan Batubara, Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) menilai pemerintah belum serius menjaga dan memperbaiki ketahanan energi nasional. RUU Migas yang sudah diajukan sejak tahun 2004, sampai hari ini belum ada kejelasan.
Dalam acara yang digagas oleh Majalah GEO ENERGI tersebut, Marwan menegaskan bahwa RUU tersebut juga pernah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004, terutama pada pasal yang menyangkut DMO (Domestik Market Obligation).
Mestinya, lanjut Marwan, RUU itu diperbaiki. Jika tidak, ini merupakan bukti bahwa bangsa ini betul-betul tidak memiliki kedaulatan dan kemandirian energi. "Pemerintah tidak optimal menghadapi masalah energi sehingga selalu terjadi devisit," katanya.
Dalam soal pasokan gas, Marwan juga menilai pemerintah tidak adil. Sebetulnya, boleh saja pemerintah ekspor gas, tetapi pemerintah harus mempersiapkan cadangan dan sumber gas lainnya. Misalnya impor dari Iran atau Qatar yang memiliki kandungan gas sangat besar.
Sementara Elan Biantoro, Ketua Hubungan Kelembagaan BP Migas menegaskan bahwa keluhan para industri gas menjadi perhatian pemerintah. Saat ini pemerintah sedang mempersiapkan infrastruktur.
"LNG memang belum ada fasilitasnya. Kalau infrastruktur sudah terbangun, maka LNG BOntang bisa dialirkan ke Jawa, Tangguh bisa dialirkan ke umut dan Aceh. Yang paling baru, Arun akan dialihfungsikan menjadi LNG dan FSRU," katanya.
Ke depan pemerintah akan mempersiapkan infrastruktur untuk mengalirkan gas dari Masela, Bontang dan Tangguh. Meski demikian, kita harus sabar, karena sejak sekarang sampai 2019, kita masih akan mengalami defisit gas. Namun, untuk Sumut, pada 2019 sudah tidak defisit. Yang jelas, lanjut Elan, saat ini kita butuh infrastruktur.
Daniel Purba, Vice President Engineering and Project Pertamina menegaskan bahwa urusan gas berbeda dengan minyak. Kalau minyak boleh dijual ke siapa saja, sedangkan gas tidak bisa dijual sembarangan. "Soal LNG, pemerintah tidak bisa sembarangan kepada pembeli," katanya.
Membangun LNG kata Daniel, tidak semudah membangun ICP. "Kilang LNG tidak akan dibangun jika tidak ada kepastian pembeli. Sedangkan proses negosiasi memakan waktu cukup lama. Bisa 3-5 tahun," paparnya.
Soal negosiasi ulang Blok Tangguh, menurut Daniel, tidak semudah yang dikatakan banyak orang. "Tidak semudah itu meminta negosias ulang, ada implikasi legal dan bisa terkena penalty," katanya.(*)
Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011