Jakarta (ANTARA News) - Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyad Mbai mengatakan, pengunjung terbesar situs-situs yang diidentifikasi sebagai situs propaganda terorisme berasal dari Indonesia.

"Jumlah pengunjung dari Indonesia bisa mencapai 80 - 90 persen," kata Ansyad Mbai pada Focus Group Discussion (FGD) tentang Deradikalisasi (Meningkatkan Ketahanan Masyarakat) Melalui Advokasi, Komunikasi, dan Edukasi di Ruang Publik, di Bogor, Kamis.

Ansyad mengaku tidak hafal nama ke-11 situs tersebut, namun salah satunya adalah arrahman.com.  Data-data tentang situs-situs tersebut diakuinya berasal dari satu institusi yang berpusat di Australia. Data tersebut sedikit lebih rendah dari hasil penelusuran Kemenkominfo yang menyebutkan ada 32 situs yang menjelek-jelekan agama lain.

Penggunaan internet, menurut Ansyad, menjadi pilihan bagi para teroris untuk melakukan kampanye selain juga merekrut anggota baru.

Aksi-aksi radikalisme yang dilakukan belakangan ini seperti bom bunuh diri di Cirebon atau bom buku di Jakarta, menurut dia, tidak terlepas dari internet.

"Pepih yang membuat bom buku mengaku memperoleh pengetahuan membuat bom dari internet," katanya.

Ansyad juga mengkritik media Indonesia yang dinilainya memberi ruang bagi kampanye terorisme melalui peliputan langsung di televisi. "Di negara lain tidak ada satu pun media yang melakukan 'live broadcast' dengan terorisme," katanya.

Sementara Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo Freddy Tulung mengatakan, salah satu upaya untuk menangkal radikalisme adalah melalui pendidikan.

Dalam katiannya itu, katanya, ada satu hal yang belum memainkan peranan yaitu edukasi di ruang publik. Edukasi ini bisa dilakukan dalam berbagai macam cara seperti tatap muka, melalui media luar ruang, media cetak, media tradisional seperti kesenian daerah, media penyiaran dan media sosial.

Pembicara lain dalam FGD tersebut, aktivis perempuan Siti Musdah Mulia mengatakan, pendidikan menjadi salah satu faktor penting dalam tumbuhnya radikalime.

Ia menyoroti pendidikan agama yang dinilainya kurang tepat karena hanya mengajarkan ritual dan aspek formal legal saja sehingga pemahaman agama menjadi sempit. Kesalahan pendidikan agama itu terjadi di semua lini baik pendidikan formal, informal maupun di dalam keluarga.

Pendidikan agama yang ada sekarang meninggalkan penekanan spiritualistas dan nilai-nilai toleransi tidak banyak diajarkan.

Kelompok-kelompok radikal, lanjutnya, muncul dari sekolah-sekolah eksakta yang tidak cukup bekal di agama. Murid-murid di sekolah tersebut biasanya hanya memahami secara eksakta - hitam putih saja.

Seharusnya pendidikan agama, katanya, bukan lagi secara doktriner tapi mengedepankan sikap kritis dan rasional yang diakui juga cara pendidikan ini dikecam oleh kalangan doktriner.
(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011