... meskipun ada kontradiksi sedemikian rupa antara himbauan petinggi partainya soal politik santun dengan sang politisi yang justru melempar rumor Mr A, saya terpikir mengapa para politisi kita tidak membuka kuis atau sayembara saja

Jakarta (ANTARA News) - Di antara banyak sensasi dalam dinamika hidup kita di Indonesia saat ini, saya mencatat dua di antaranya. Pertama, lontaran misteri Mr A oleh seorang politisi, yang dinilai justru makin membuat situasi tambah bersuasana misterius. Kedua, eksperimen iklan peti mati dengan cara mengirimkannya ke berbagai kantor redaksi media massa, yang dinilai berlebih-lebihan alias keterlaluan.

Dari yang pertama, meskipun ada kontradiksi sedemikian rupa antara himbauan petinggi partainya soal politik santun dengan sang politisi yang justru melempar rumor Mr A, saya terpikir mengapa para politisi kita tidak membuka kuis atau sayembara saja.

Maksud saya begini: bikinlah kuis tebak-tebakan untuk publik, misalnya dengan melempar teka-teki dan publik bisa berlomba-lomba menjawab via sms. Formatnya bisa seperti acara-acara iklan sms malam hari di televisi-televisi itu. Atau bikin saja cerita misteri bersambung, misalnya dengan dibuat sinetron, dan tiap episode dibuka kuis.

Setidaknya, barangkali itu lebih bermanfaat ketimbang, ketika politisi melempar “kuis tebak-tebakan” dengan melempar rumor yang kedengarannya kurang sedap, kalau bukan justru meninggalkan persoalan etis.

Saya ingat, dulu pada 1980-an di TVRI stasiun Yogyakarta ada ketoprak sayembara berhadiah. Episodenya panjang dan ditayangkan setiap malam minggu. Ketoprak di sini, bukannya makanan yang sering kita jumpai di Betawi ini, tapi drama atau sandiwara tradisional khususnya di Jawa Tengah yang demikian populer, selain ludruk di Jawa Timur.

Sandiwara misteri itu selalu ditunggu pemirsa. Pertanyaannya adalah siapa pembunuh si X dalam sandiwara itu, dan jawabannya bisa segera dikirim via kartupos dengan menyertakan guntingan kuis ketoprak sayembara yang ada di suratkabar-suratkabar tertentu.

Walhasil, tayangan ketoprak sayembara itu jadi pembicaraan ramai orang-orang di desa saya. Mereka sibuk menganalisis cerita dan menerka-nerka : siapa pembunuh si X. Perdebatan terjadi. Lantas pengutupan terjadi pula: antara penebak yang satu dengan yang lain mulai bersitegang dan kadang-kadang ledek-meledek. Di antara mereka ada yang toh-tohan alias berjudi sendiri-sendiri, seperti ketika Anda dan teman Anda nonton sepakbola, siapa yang tebakan pemenangnya salah dia harus bayar yang tebakannya benar.

Tapi, itu semua ceritanya fiksi semata, walaupun dikaitkan dengan tokoh-tokoh yang pernah menyembul dalam sejarah kerajaan Mataram. Karena semata-mata fiksi, maka tidak ada rumor dalam fiksi, kecuali khayalan-khayalan yang dibuat-buat dan dilogis-logiskan.

Tapi, walaupun fiksi, tetap saja ada pesan moral yang terselip. Bahwa kebaikan itu akan mendapat ganjaran dan kejahatan itu akan mendapat hukuman. Bahwa orang yang sok alias sombong itu sia-sia saja hidupnya. Bahwa yang berkuasa itu belum tentu bisa berbuat adil. Bahwa rakyat sendiri pun belum tentu juga benar. Dan pesan-pesan lain.

Meskipun disampaikan dengan kesan yang agak berlebihan, tetapi saya bisa memahami Presiden SBY menolak fitnah dalam politik. Si pelempar fitnah dari kegelapan itu memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi. Presiden SBY pun cukup untuk merasa direpotkan dan dipojokkan.

Namun, sayang, di tengah-tengah keprihatinan seperti itu, muncul rumor yang pelemparnya jelas, ia dari partai berkuasa, dan menyebut Mr A sebagai perusak partainya. Sedikit petunjuk yang diberikan atas siapa Mr A ini, antara lain ia politisi senior yang bukan dari partainya.

Rumor itu, disebut rumor karena tidak dikatakan secara terbuka siapa ia oleh sang pelempar, benar-benar seperti kuis tebak-tebakan, yang membuat banyak kalangan penasaran. Ketika banyak tokoh berinisial A resah, malah tidak diperbolehkan oleh sang pelempar : bahwa kalau tidak merasa sebagai Mr A tidak usah reaksioner.

Sesungguhnya kuis tebak-tebakan itu akan menarik kalau dihadiahkan, dan dibuka untuk publik untuk mengirimkan jawaban ke yang melemparkan. Dan hadiah bagi pemenang tebakan itu, masih dirahasiakan, dan kelak pemenangnya akan dibikin kaget manakala hadiahnya adalah sebuah peti mati.

Tetapi, dunia politik kita, bukan panggung Srimulat, bukan?

Barangkali cukup almarhum Gus Dur yang kita maklumi bersama sebagai sosok kontroversial dan jenaka. Ketika Gus Dur melempar rumor tentang Operasi Naga Hijau, publik geger menebak-nebak apa yang ia maksud. Tapi, rumor Gus Dur ini ada konteksnya. Ia lempar itu di penghujung Orde Baru, 1997. Pesan Gus Dur adalah, kantong-kantong NU sedang jadi sasaran penghasutan agar timbul kerusuhan-kerusuhan oleh oknum-oknum yang tak bertanggungjawab.

Saat menjabat sebagai presiden, Gus Dur pernah menunjuk adanya kelompok yang ingin menggulingkan pemerintahannya. Dan, dalam konteks yang kurang begitu jelas, ia pernah berujar dan dikutip media, untuk menangkap seorang tokoh pengusaha nasional. Karena beberapa kali membuat kontroversi, sebuah majalah berita mingguan pernah menyajikan kaver Gus Dur dan tulisan “Mulutmu Harimaumu!”.

Politisi zaman kita, saya kira perlu belajar dari Gus Dur. Hal-hal yang kontroversial dari Gus Dur, mestinya tidak usahlah dilanjutkan. Tapi ambil sisi lain Gus Dur sebagai manusia arif yang pro-demokrasi dan pluralis, yang mengayomi berbagai kelompok minoritas. Gus Dur kelasnya memang pendekar: bagaimanapun ia pernah jadi presiden dan memutuskan serangkaian kebijakan yang progresif di era reformasi ini.

Selanjutnya soal peti mati.

Pelaku pengiriman peti mati itu mengatakan motifnya adalah terobosan pemasaran alias marketing. Ia kemudian berurusan dengan aparat kepolisian. Saya tidak mengulas sisi kelanjutan ceritanya, melainkan kehadiran isu peti mati itu, kebetulan bersamaan dengan isu-isu kontroversial lain di media massa: rumor dan korupsi politik.

Barangkali jawaban atas masih merajalelanya kasus-kasus korupsi itu adalah peti mati. Memang mengerikan. Tetapi, bahkan peti mati pun dipolitisasi sedemikian rupa oleh pembesar China. Perdana Menteri Zu Rongji pernah berujar, “Bawakan aku 100 peti mati, yang 99 buat mereka yang korupsi, yang satu buat aku jika melakukan hal yang sama!”

Peti mati itu simbol. Bahwa kematian pasti akan menjemput siapa saja. Tak Slobodan Milosevic, tak Radko Mladic, tak yang lain. Peti mati itu juga mengingatkan agar sebelum mati ada bekal kebaikan yang dibawa, bukan bekal keburukan. Terlepas dari kontroversi yang dilempar Stephen Hawking surga dan neraka itu dongeng, orang hidup perlu mengumpulkan poin kebaikan.

Seorang kiai pernah memberi nasihat berbuatlah baik di dunia, kalaupun nanti tidak ada surga di akhirat tidak mengapa, tetapi kalau benar-benar ada: tentu kamu beruntung sekali. Itulah antara lain jawaban tentang pertanyaan apakah memang ada surga dan neraka kelak.

Ingat tidak pengibaratan sufi Fariduddin Attar tentang hidup manusia di bumi ini, seperti sebuah peti yang terbuka. Taufiq Ismail memuisikannya dengan indah, “Puisi Peti” (1977), yang saya esai kan berikut ini.

Fariduddin Attar bangunlah pada larut malam hari. Dan dia memikirkan tentang dunia ini. Ternyata dunia ini : adalah sebuah peti yang besar dan tertutup di atasnya . Dan kita manusia berputar-putar di dalamnya. Dunia sebuah peti besar. Dan tertutup di atasnya. Dan kita terkurung di dalamnya

Di dalam peti itu kita berjalan-jalan, bermenung, beranak, berkemenakan. Dan kita membuat peti di dalamnya. Kita membuat peti di dalam peti itu. Dan kita membuat peti-peti kecil , peti-peti agak besar, dan peti-peti besar. Semua orang membuat peti .

Di dalam peti semua orang membuat peti. Yang agak besar, yang makin besar, yang paling besar. Dan kita bertanding membuat peti sesama kita, kita bertengkar tentang membuat peti, kita berperang karena membuat peti . Kita capek membuat peti.

Ketika itu tiba-tiba ada yang berseru, "Ayo kita menanam sayap!". Yang duduk di pojok tak begitu jelas mendengar, "Apa katamu?" Seru orang itu lagi, "Ayo kita menanam sayap! Di pundak! Satu di kiri, satu di kanan!" Ini anjuran agak aneh . "Kenapa menanam sayap? Kenapa tidak memanjangkan kuku?

Kenapa menanam sayap? Kenapa tidak menanam peti?" Semua orang ribut sebentar. "Ayo, kita bikin peti kembali." Orang-orang membikin peti lagi. Yang satu itu tidak begitu dipedulikan lagi. Tapi dia tetap sendiri berseru, "Aaayo kita menanam sayap!”

Seruan itu tenggelam, karena orang-orang membuat peti lagi. Semua orang mengulang membuat peti . Peti-peti makin banyak dan bertumpuk-tumpuk. Ruangan dalam peti besar semakin pengap. Peti-peti menumpuk di gunung dalam peti. Peti-peti bertabur di sungai dalam peti. Orang-orang didesak peti-peti bikinan mereka sendiri.

Tiba-tiba tutup peti paling besar terbuka . Tiba-tiba pintu langit terkuak . Dan langit lebih atas lagi jadi tampak . Semua orang ingin menghambur keluar: tapi tak bisa. Tiba-tiba ada yang terbang keluar peti besar. Di pundak mereka ada sayap-sayap kecil . Mereka melayang-layang dengan sedapnya . Meraih mega, bermain dengan angin. Masuk ke dalam warna biru yang amat jernihnya

Yang tidak bisa terbang: tetap terkurung dalam peti. Memandang ke atas yang terbang tinggi. Mereka menengadah terus ke atas sana, sampai batang leher mereka sakit rasanya. Sambil duduk di atas peti-peti kecil mereka tergoncang-goncang dalam gundah-gulana. Mereka mencoba menanam sayap di pundak yang dua. Tapi tak bisa karena sudah terlambat keadaannya.
(***)


*) M Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011