Jakarta (ANTARA News) - Singapura dijuluki "Red Dot", karena wilayahnya yang teramat kecil. Di peta dunia, negeri seluas 710 kilometer persegi itu memang hanya terlihat sebagai titik merah yang menandai ibukotanya.

Dari Jakarta, ibukota Indonesia, salah satu negeri kepulauan terbesar di dunia, Singapura hanya perlu satu jam 40 menit dengan moda udara.

Lalu-lintas udara kedua negara memang teramat sibuk, karena banyak pelancong Indonesia yang berkunjung ke negeri dengan penduduk sekitar lima juta jiwa itu.

Singapura memang negara dengan sejuta fasilitas; hiburan, belanja, bisnis, dan wisata kota.

Kedekatan Indonesia dan Singapura juga mendorong para penyuka film Hollywood yang untuk sementara tidak dapat menikmati film-film terbaru di bioskop dalam negeri karena denda yang diberlakukan pemerintah atas importir film asing sejak Februari 2011, mengejar film terbaru hingga ke negara itu.

"Saya sudah menonton film Thor 3D, Fast and Furious 5, Scream 4, Rio, dan Pirates and Carribean - On Stranger Tides 3D di Singapura," kata Windra Arifiyanda (26).

Windra, panggilan akrabnya, mengaku menonton di bioskop Cathay Cineleisure Singapura bersama temannya.

Cathay Cineleisure merupakan pusat perbelanjaan sembilan lantai yang berlokasi di kawasan Orchard, terdiri dari berbagai restauran, toko dan bioskop yang dioperasikan oleh Cathay Cineplex.

Cathay Cinelplex menyediakan 12 studio dengan ruangan sekitar separuh dari ruang bioskop biasa di Indonesia.

Bioskop sendiri sudah buka sejak pukul 10.30 dan pengunjung dapat memilih beragam pilihan film dengan teks terjemahan Mandarin dan Inggris.

Tiket film biasa adalah 8,5 dolar Singapura, film 3D sebesar 11 dolar Singapura dan khusus untuk pelajar 6 dolar Singapura.

"Untuk nonton film 3D saya habiskan 11 dolar Singapura per film, film Fast and Furious 5 saya nonton dua kali, kalau yang bukan film 3D, harga tiketnya 8,5 dolar Singapura, semua tiket ditambah 1 dolar Singapura karena pembelian dalam jaringan," sebut Windra kepada ANTARA.

Bila dijumlah seluruh biaya untuk tiket film adalah 62 dolar Singapura dan bila dikonversi ke rupiah dengan nilai tukar 7.000 rupiah adalah Rp 434.000.

"Untuk penginapan, kunjungan pertama saya menginap di York Hotel Singapore, menghabiskan sekitar 267 dolar Singapura per malam, kemudian pindah ke Value Hotel di Belstier, per malamnya 120 dolar Singapura. Pada kunjungan kedua saya ambil di ABC Hostel, harganya 75 dolar Singapura per malam," ujarnya.

Artinya total biaya akomodasi adalah sebesar 462 dolar Singapura atau Rp 3.234.000.

"Sedangkan untuk penerbangan, pada kunjungan pertama saya habiskan sekitar Rp 1,5 juta sedangkan kunjungan kedua saya rogoh kocek sebesar Rp 1 juta. Saya juga membeli kartu untuk transportasi di Singapura (EZ link) seharga 12 dolar Singapura dan menambah lagi isinya kalau tidak salah 10 dolar Singapura," papar Windra.

Biaya itu belum termasuk biaya makan dengan harga 3,5 -6 dolar Singapura sekali makan.

"Memang ongkosnya agak spesial, kunjungan pertama saja saya habiskan lebih kurang Rp 5 juta, kunjungan kedua sekitar Rp 2-3 juta," ungkap pemuda yang sudah sejak kecil menyukai film itu.

Ia mengaku nekad untuk pergi ke luar negeri demi menonton film karena sangat suka menonton film dengan genre apa pun baik film lokal maupun internasional.

"Persoalannya, Indonesia termasuk kawasan yang cukup lambat untuk sirkulasi DVD film Hollywood yang asli, jadi satu-satunya harapan adalah menonton film terbaru di bioskop," ungkap penyuka film Black Swan tersebut.

Ia suka film karena merasa sudah cukup lelah dengan kondisi ibukota yang macet dengan jam kerja yang padat.

"Pelarian saya adalah film, namun film yang tersedia temanya tidak jauh-jauh dari kuburan, tempat tidur atau cinta monyet, mutunya jauh di bawah standar saya," jelas Windra.

Tidak semua
Namun tidak semua penyuka film memiliki kesanggupan finansial seperti Windra, seorang mahasiswi (22) yang enggan disebut namanya memilih untuk mengunduh film-film baru tersebut.

"Saya memilih untuk mengunduh film-film itu, tapi langsung dihapus setelah ditonton" katanya.

Lain lagi dengan Aziza (24), karyawati perusahaan swasta yang memilih untuk membeli DVD bajakan film-film baru Hollywood dengan kisaran harga Rp5.000 - Rp7.000 per keping.

"Ada Pirates of Carribean, Kung Fu Panda dan lainnya, tapi masih jelek kualitasnya jadi saya kembalikan lagi ke penjualnya," cerita Icha, nama panggilannya.

"Pengen banget nonton Harry Potter 7 final di bioskop! Ayo dong cabut pelarangan impor filmnya." katanya.

Sejak Februari 2011 pemerintah lewat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memerintahkan untuk memasukkan royalti dalam perhitungan nilai pabean impor film.

Menurut Direktur Teknis Kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai, Heri Kristiono pada akhir Februari, pihaknya tidak membuat peraturan baru karena penambahan royalti ke dalam nilai pabean sudah sesuai dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) "valuation agreement" yang sudah diratifikasi menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 1994 dan diadopsi pada UU Nomor 10 tahun 1995 serta telah diubah menjadi UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan yang mengatur tentang Nilai Pabean.

"Tidak ada kenaikan tarif bea masuk. Film impor diklasifikasikan dalam HS Code 3706 dengan pembebanan tarif bea masuk 10 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor 10 persen, dan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 impor 2,5 persen," katanya.

Wakil presiden Motion Pictures Association Asia Pasific (MPAA) Frank S. Rittman kepada wartawan di Jakarta pada Februari menyatakan bahwa distributor film asal Amerika Serikat tersebut memutuskan untuk tidak mendistribusikan film di Indonesia selama pemerintah tetap memberlakukan ketentuan mengenai royalti film impor.

Hasilnya, gedung-gedung bioskop Indonesia yang sebagian besar masuk ke dalam jaringan 21, tidak lagi menayangkan film-film baru Hollywood karena MPAA membawahi enam studio film besar Amerika yaitu Disney, 20th Century Fox, Warner Bros, Paramount, Universal, dan Sony Entertainment.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi, dan Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) Petrus Suryadi Sutrisno dalam tulisannya di ANTARA pada 27 Mei disebutkan bahwa angka 23,75 persen untuk pajak film impor terdiri atas Bea Masuk (BM) sebesar 10 persen dari Nilai Pabean (NP). PPN 10 persen dari (NP + BM) = 11 persen dari Nilai Pabean. Pajak Penghasilan (Pph) 2,5 persen dari (NP + BM) = 2,75 persen dari Nilai Pabean.

Selama ini pihak MPAA dan importir film asing menurutnya telah menyembunyikan angka itu dari otoritas Pajak dan Bea Cukai dengan mengaku hanya beli/jual dengan harga 0,43 dolar AS/meter; atau 1.000 dolar AS/salinan, sehingga kalau mengimpor satu judul film dengan jumlah perhitungan untuk satu salinan film asing, NP = 1.000 dolar AS, pajaknya 23,75 persen = 237,5 dolar AS (Rp 2,1 juta). Untuk lima salinan film, NP = 5.000 dolar AS pajaknya hanya Rp 10 juta.

Bila dibanding dengan beban pajak film nasional adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tiap salinan film sebesar sepuluh persen. Jika rata-rata per judul ada 35 salinan film, maka dari cetak salinan filmnya saja kena PPN Rp 35 juta, bila 100 salinan maka Rp 100 juta.

Masalahnya importir film asing hanya melaporkan nilai pabean seniali biaya cetak salinan film saja yaitu 0,43 dolar AS/meter, padahal harga beli film asing itu masih harus memperhitungkan sekian persen dari hasil edar film tersebut.

Bea Masuk sebesar 10 persen, total pungutan impor 23,75 persen dari Nilai Pabean, maka nilai nominal pajak akan makin membesar seiring dengan besarnya hasil edar film tersebut, sehingga importir masih memiliki 76,25 persen dari total penerimaan film impor yang diedarkan di Indonesia.

Pada 18 Mei 2011, satu dari tiga importir yang mengajukan banding pembayaran pajak film impor ke Pengadilan Pajak sudah melunasi tagihan bea masuk sebesar Rp 9 miliar namun belum termasuk pembayaran denda.

Sebelumnya, ketiga importir film asing yaitu PT Camila Internusa, PT Satrya Perkasa Esthetika dan PT Amero Mitra belum diperbolehkan untuk mengimpor film asing ke Indonesia karena belum membayar denda tunggakan bea masuk sebesar sepuluh kali dari total tunggakan sebanyak Rp 31 miliar yang dapat dibayar selama dua tahun.

"Perusahaan yang sudah membayar dapat mengimpor film," kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung Kuswandono pada Rabu (18/5).

Harapan
Bagaimanapun perhitungan dan upaya hukum yang dilakukan oleh pemerintah maupun importir film asing, para pecinta film berharap masalah dapat cepat selesai.

"Saya sangat berharap masalah cepat terselesaikan karena bukan hanya menyangkut uang negara atau uang pribadi masyarakat, namun ini masalah budaya karena buat saya menonton film itu budaya masyarakat Indonesia karena dapat menciptakan rasa kebersamaan antara keluarga, teman, bahkan orang yang benar-benar baru dikenal karena kesamaan hobi," ungkap Windra.

Bagi dirinya, budaya menonton film dapat menjauhkan generasi muda dari hal-hal negatif seperti narkoba atau minuman keras.

"Kan saya bilang bioskop adalah jalan keluar dari stres selama film yang ditawarkan adalah film yang juga menghibur, bayangkan kalau stres nonton film pocong atau suster keramas? Mungkin malah makin stres," kata Windra lagi.

Ia berharap agar film Indonesia pun dapat kembali ke masa-masa saat film Ada Apa Dengan Cinta, Pasir Berbisik, Laskar Pelangi atau film Indonesia terakhir yang cukup berbekas baginya adalah Tanda Tanya.

"Harapan saya film Indonesia tidak hanya menjual aktor dan aktris saja, tapi juga menjual cerita yang dapat membuat masyarakat Indonesia lebih pintar dan bagi importir film, jika takut rugi, saya pikir kenaikan harga tiket sekitar Rp5.000-10.000 selama filmnya berkualitas, masyarakat tidak keberatan," kata Windra.
(KR-DLN/T010)

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011