Jakarta (ANTARA News)- Niat Pemerintah untuk menegosiasi kembali kontrak-kontrak bisnis, khususnya di bidang minyak dan gas bumi, dengan pihak asing tampaknya diragukan oleh banyak pihak, salah satunya adalah  Hendri Saparini, ekonom senior ECONIT.

"Keseriusan pemerintah untuk merenegosiasi kontrak karya tidak dilihat dari pernyataan, tetapi dari langkah-langkah yang diambil," kata Hendri dalam  diskusi yang digelar di Sekretariat Forum Umat Islam, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa.

Menurut Hendri,  jika komitmen pemerintah untuk mengosiasi ulang kontrak migas benar-benar serius hal itu bisa dibuktikan dengan mengoreksi peraturan perundangan yang mendukung dominasi perusahaan asing. Ironisnya, papar Hendri, peraturan hukum itu justru banyak lahir dari pemerintah.

"Salah satu yang dipersoalkan adalah kepemilikan asing yang sangat besar di bidang migas. Tetapi ingat, payung hukum yang menjadi tempat bernaung perusahaan asing di bidang migas adalah Peraturan Presiden nomor 77 tahun 2007. Itu yang harus dikoreksi pertama-tama," kata Hendry.

Selain Perpres no 77 tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, menurut Hendry  produk hukum yang perlu dikoreksi adalah Undang-Undang Penanaman Modal dan Undang-Undang Migas.

"Jadi betul-betul tidak hanya pernyataan, tetapi langkah yang tegas. Semua itu ada dalam kewenangan Presiden karena semuanya ditandatangani oleh Presiden," kata Hendry.

Langkah-langkah merevisi undang-undang itu perlu dilakukan jika negosiasi kembali kontrak yang dilakukan pemerintah benar-benar merupakan amanah dari konstitusi dan untuk seutuhnya kepentingan nasional.

"Jika tidak saya khawatir itu hanya upaya membangun citra karena masyarakat sedang membicarakan tentang dominasi asing di bidang ekonomi," katanya.
(Ber/A038)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011