Realpolitik juga menjadi warna utama di balik politik vaksin COVID-19
Kepentingan nasional
Kini, negara-negara Arab saling mendekat. Qatar tak lagi bermusuhan dengan Arab Saudi dan negara-negara GCC lainnya. Mereka juga berusaha membuat perimbangan lewat berbicara dengan Iran walaupun tidak melalui saluran terbuka.
Perubahan juga terjadi dalam konteks hubungan AS-Eropa ketika AS, Inggris dan Australia membentuk aliansi strategis baru bernama AUKUS yang merupakan kesepakatan tripartit menyangkut keamanan, teknologi dan berbagi intelijen di antara ketiga negara.
Misi pertama aliansi ini adalah membangun delapan kapal selam bertenaga nuklir untuk angkatan laut Australia sebagai langkah penting dalam menghadapi semakin agresifnya China di Indo-Pasifik.
Tapi kesepakatan ini dianggap kudeta politik terhadap hubungan AS dan Prancis yang sudah berharap Biden bisa membalikkan orientasi politik luar negeri AS menjadi condong kembali ke Uni Eropa.
Prancis bertambah sewot karena aliansi baru itu menyabotase kesepakatan pertahanan senilai 70 miliar dolar AS antara Prancis dan Australia guna membuat armada kapal selam bertenaga non-nuklir Australia yang kini sudah dibatalkan.
Prancis dan Uni Eropa membalas AS dengan menyatakan tak tertarik kepada aliansi menghadapi China. Eropa tetap menolak ikut bertanggung jawab atas perdamaian dan keamanan dunia. Mereka memilih peluang ekonomi dan perdagangan dengan China ketimbang membuka tirai konflik.
Realpolitik juga menjadi warna utama di balik politik vaksin COVID-19.
Sekalipun sudah lama diprediksi para pakar jauh sebelum vaksin COVID-19 ada, nasionalisme vaksin benar adanya, justru ketika pandemi mengharuskan dunia berkolaborasi, khususnya dalam upaya menyalurkan secara merata vaksin ke seluruh dunia.
Namun yang terjadi negara-negara malah berlomba memvaksinasi dirinya atas pertimbangan realistis sendiri-sendiri yang jauh dari aspek moral, karena melulu didasarkan kepada pertimbangan kepentingan nasional.
Bahkan G20 pun sendiri tetap berkubang dalam retorika menyangkut distribusi vaksin karena memang tak ada satu pun yang mau mengorbankan kepentingan nasionalnya yang di beberapa negara diasosiasikan dengan kepentingan rezim.
Semua ini kian menegaskan bahwa yang mendasari negara-negara bertindak bersama bukanlah pertimbangan moral dan apalagi ideologis.
Kepentingan nasional dan irisan kepentingan nasional di antara merekalah yang memaksa negara-negara beraliansi.
Dalam kata lain, "tak ada musuh dan sekutu yang abadi. Hanya kepentingan nasional yang abadi."
Baca juga: Raja Saudi khawatir tentang program nuklir Iran
Baca juga: Tantangan panglima TNI juga perang siber dan keamanan-geopolitik
Baca juga: AUKUS "point of no return" geopolitik Indo-Pasifik
Copyright © ANTARA 2021