Kita tahu bahwa pemberian subsidi ini tidak memberikan dampak positif secara langsung kepada petani sawit karena mayoritas perusahaan penerima subsidi biodiesel tersebut tidak ada kemitraan dengan petani sawit swadaya
Jakarta (ANTARA) - Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) berharap dana yang dihimpun Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) lebih dialokasikan untuk kepentingan petani rakyat agar manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.
Sekjen SPKS Nasional Mansuetus Darto dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat, mengatakan bahwa dana yang dihimpun oleh BPDPKS dari hasil perkebunan sawit didominasi pada kepentingan subsidi biodiesel.
Dia mengemukakan data yang disampaikan BPDPKS sepanjang awal berdirinya tahun 2015 hingga 2021 lembaga tersebut sudah menghimpun dana sebesar Rp137,283 triliun. Dana tersebut kemudian disalurkan melalui program subsidi biodiesel tahun 2015-2021 sebesar Rp110,05 triliun atau 80,16 persen, sebesar Rp6,59 triliun (4,8 persen) untuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), sebesar Rp389,3 miliar untuk program penelitian dan pengembangan, sebesar Rp199,01 miliar untuk program pengembangan SDM, sebesar Rp21,1 miliar untuk program Sarana dan Prasarana 2021, dan sebesar Rp318,5 miliar untuk program promosi, advokasi dan kemitraan sawit.
"Kita tahu bahwa pemberian subsidi ini tidak memberikan dampak positif secara langsung kepada petani sawit karena mayoritas perusahaan penerima subsidi biodiesel tersebut tidak ada kemitraan dengan petani sawit swadaya," kata Darto.
Dia mengatakan bahwa petani tetap menjual buah sawitnya kepada tengkulak dengan kerugian sekitar 30 persen dari harga yang di tetapkan oleh pemerintah. Dia berharap agar BPDPKS dan pemerintah membuat mekanisme untuk mendorong agar perusahaan penerima subsidi biodiesel bisa memberdayaakan petani sawit dan membangun kemitraan.
"Untuk itu ke depan diperlukan mewajibkan perusahaan penerima subsidi biodiesel bermitra dengan petani sawit swadaya secara langsung," katanya.
Dia juga menyinggung dana Rp137,283 triliun merupakan dana dari hasil kebun sawit yang di himpun oleh BPDPKS bersumber dari pungutan didasarkan peraturan terbaru yaitu PMK 75/PMK.05/2021.
Dalam peraturan itu, tarif pungutan ekspor untuk minyak kelapa sawit (CPO) minimal sebesar 55 dolar AS per ton dan paling tinggi 175 dolar AS per ton. "Analisis kami dengan harga CPO saat ini pungutan ini bisa mengurangi harga TBS di tingkat petani kelapa sawit sebesar Rp400 per kg. Dengan demikian maka seharusnya penggunaan dana ini lebih memprioritaskan kebutuhan petani sawit," katanya.
Selain itu, lanjut dia, Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sampai dengan tahun 2021 hanya 242.537 Ha dengan jumlah petani sawit 105.684 petani dengan anggaran yang disalurkan sebesar Rp6,59 triliun. "Jika di lihat dari target program PSR dari tahun 2017-2021 yaitu sebesar 745.780 ha maka dari sisi capaian hanya sekitar 33 persen," kata Darto.
Menurut dia, rendahnya capaian karena sulitnya petani mengakses program PSR mulai dari peraturan yang berubah-ubah, persyaratan yang sulit, termasuk sosialisasi yang kurang di lakukan sampai di desa-desa sawit.
Dia menyarankan agar BPDPKS ke depan tidak hanya fokus pada percepatan PSR, tetapi juga bagaimana mempersiapkan dukungan pada prakondisi PSR mulai dari pendataan petani sawit, dukungan pembentukan kelembagaan petani sawit, serta penguatan manajemen kelembagaan.
Sekjen SPKS juga berharap agar ada pelibatan semua asosiasi petani sawit dalam mensukseskan program BPDPKS seperti program PSR dan juga percepatan ISPO kedepanya. SPKS, kata Darto, sangat mendukung upaya BPDPKS untuk program-program sawit berkelanjutan seperti memetakan kebun petani sawit swadaya, membangun kelembagaan petani sawit dan juga melatih SDM petani langsung di desa-desa.
Baca juga: Industri sawit siap beli sawit petani yang tergabung Program PSR
Baca juga: Duta Besar Norwegia kunjungi petani sawit Musi Banyuasin Sumsel
Baca juga: Pemerintah dorong pemberdayaan petani kelapa sawit
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021