Jakarta (ANTARA News) - Pembina Institut Studi Nusantara (ISN), Yanto Hartono, mengatakan, upaya untuk mereaktualisasikan Pancasila dapat dilakukan dengan cara meniru spirit yang terjadi pada pola pembudayaan di era Presiden Soekarno.
"Memang ketika era Bung Karno itu ada istilah `indoktrinasi` yang mungkin alergi kita pakai sekarang. Tetapi yang paling penting, substansi isi nilai-nilai Pancasila dan spiritnya itu, bukan pola indoktrinasinya," katanya dalam suatu diskusi terbatas oleh Institut Studi Nusantara (ISN) di Jakarta, Sabtu.
Diskusi terbatas itu, digelar ISN bekerja sama dengan "Indonesian Press Online Services" (IPOS), masih sehubungan dengan perayaan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2011, dengan fokus aplikasi amanat konstitusi bagi pemenuhan kesejahteraan serta keadilan sosial.
"Kebetulan, saya termasuk salah satu yang ikut kursus kader revolusi pada tahun 1963 hingga 1965. Lulus dari itu, saya menjadi anggota tim `indoktrinator` Tupabin atau `tujuh bahan pokok indoktrinasi`," kata Yanto Hartono yang di usianya sekitar 70 tahun, masih aktif menelusuri sejarah kebangsaan nasional.
Berbicara pada pembukaan forum terbatas ISN dan IPOSnews itu, ia menambahkan, tidak perlu pembudayaan Pancasila itu dilakukan secara indoktrinasi, tetapi semangat dari era Bung Karno itu sangat pas diterapkan sekarang.
"Ketika itu, tak satu pun di lingkup elit, apakah itu di Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif, juga di lingkup pimpinan serta kader partai politik (Parpol), tokoh masyarakat, agamawan, aktivis masyarakat dan mahasiswa serta pemuda, semuanya gandrung Pancasila," tandasnya.
Kegandrungan itulah yang menurutnya menjadi pemicu untuk kebangkitan bangsa dalam rangka membangun karakter nasionalisme sejati atau `nation and character building`.
Tubapin itu sendiri, lanjut Yanto Hartono, terdiri atas materi lahirnya Pancasila (1), UUD 1945 (2), Manifesto Politik Republik Indonesia (3), Djarek (4), Membangun Dunia Kembali (5), Manipol Usdek (6) serta Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta Berencana (7).
"Ini pun tak cukup, karena kita dibekali lagi pemahaman atas spirit dasar terbentuknya Indonesia dan perjuangan di awal kemerdekaan, seperti menggumuli buku `Di Bawah Bendera Revolusi`, `Mencapai Indonesia Merdeka (MIM)`, `Sarinah`, juga pidato-pidato Pemimpin Besar Revolusi (PBR)," katanya.
Singkatnya, demikian Yanto Hartono, mereka dididik menjadi sangat militan, patriotik, nasionalis serta memiliki idealisme murni.
"Dengan begitu, di mana pun kita terjun sesuai talenta masing-masing, kebetulan saya di sektor bisnis, maka tak diragukan lagi arah pergerakan kita, untuk kepentingan negeri ini," tandasnya.
Yanto Hartono juga mengungkapkan ada hal-hal lucu, seperti, sewaktu keliling menerapkan Tubapin, dia harus jadi `Soekarno Kecil`.
"Baik gaya maupun intonasi berbicara, berpidato dan lainnya, mengikuti `style` Bung Karno. Malu kalau kalah gaya dengan orang lain. `Soekarno Style` itu bagus juga. Kita ambil positifnya sekarang, bahwa kita memiliki kebanggaan nasional," tegasnya lagi.
Situasi kekinian, menurut Yanto Hartono, di tengah para elite dan generasi muda yang semakin `mengemas` diri dengan budaya hedonisme, tentu spirit seperti di era Bung Karno itu sangat penting direvitalisasi dalam konteks sekarang.(*)
(M036/A041)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011