Dalam menegakan peraturan lingkungan wajib, kebijakan represif kiranya perlu diterapkan, manakala kebijakan persuasif sudah tak mempan lagi. Namun pemerintah hingga saat ini lebih mengedepankan pendekatan persuasif dan pembinaan

Jakarta (ANTARA News) - Perangkat peraturan tentang pengelolaan lingkungan hidup tercakup dalam tiga kategori yakni: instrumen preemtif, preventif, dan proaktif. Ditinjau dari sisi keharusan maka perangkat peraturan digrupkan menjadi peraturan wajib (obligatory) dan sukarela (voluntary).

Semakin beragamnya instrumen peraturan pengelolaan lingkungan menjadi pembeda antara UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan UU sebelumnya yakni No 23 tahun 1996 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Semakin kompleksnya dinamika dan permasalahan lingkungan menjadi konsideran bagi diperlukannya perangkat peraturan yang dapat mengakomodir kedinamisan dan kompleksitas tersebut.

Isu-isu lingkungan terkini (perubahan iklim global, penipisan lapisan ozon, dan hujan asam) juga melatarbelakangi munculnya bahasa hukum yang tercantum dalam UU Lingkungan No 32/2009.

Peraturan Preemtif, Preventif, dan Proaktif
Beberapa kalangan industriawan bahkan sudah sangat peduli terhadap perlunya menjaga kelestarian fungsi dan jasa lingkungan dimana perusahaan tersebut bercokol dan beroperasi.

Mereka tidak hanya patuh pada peraturan yang sifatnya wajib (Amdal) bahkan lebih jauh, juga proaktif mengaplikasikan peraturan yang bernuansa sukarela seperti ISO 14000 sebagai manifestasi "lebih dari sekedar taat" (beyond compliance). Selanjutnya ISO 14000, Ekolabel, produksi bersih, dll adalah contoh perangkat peraturan proaktif dan sukarela.

Namun demikian tak sedikit pula perusahaan yang sama sekali tak peduli terhadap urgensi pengelolaan lingkungan. Perusahaan demikian perlu terus mendapatkan pembinaan.

Sekiranya perusahaan tak peduli lingkungan ini ingin mengepakan sayapnya ke tataran pasar global, maka pasti mereka akan dihadang oleh ketatnya persaingan dan mekanisme pasar global yang mengerucut pada komitmen tinggi terhadap pelestarian lingkungan.

Jadi peran konsumer dan masyarakat madani (civil society) yang peduli (aware) terdapat lingkungan, sangat besar berkonstribusi dalam menggiring praktisi industri untuk mengarusutamakan (mainstream) pelestarian lingkungan dalam setiap langkah produksinya.

Selain itu konsistensi penerapan tata kelola lingkungan (good environmental governance) juga menjadi prasyarat mutlak dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.

Untuk menjaga tataran fungsi lingkungan hidup harus bermula dari sisi hulu berupa perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersimpan dalam lingkungan hidup tersebut.

Perangkat peraturan yang bercorak perencanaan inilah yang masuk dalam kategori preemtif seperti: Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Llingkungan Hidup (RPPLH), dan Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.

Keempat perangkat ini menjadi urusannya pemerintah dan satuannya adalah hamparan ekologis. Instrumen ekonomi lingkungan mencakup: perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi, pendanaan lingkungan hidup, dan insentif atau disinsentif.

Peraturan perundangan berbasis lingkungan hidup, dan Anggaran berbasis lingkungan hidup (pasal 44 dan 45 UU 32/2009) kiranya juga masuk dalam kelompok preemtif.

Kawasan Industri, Amdal, UKL-UPL, Analisis Risiko Lingkungan, Audit Lingkungan, pun menjadi perangkat preemtif, namun levelnya adalah proyek dan menjadi domainnya pelaku industri.

Prinsip pencemar membayar (polluters must pay principle), izin pembuangan limbah (dumping), izin lingkungan, juga menjadi bagian dari perangkat preemtif.

Perangkat preventif diaplikasikan manakala suatu kegiatan industri telah beroperasi. Perangkat ini dimaksudkan untuk mencegah dan meminimalisir kemungkinan dampak yang muncul dengan beroperasinya suatu kegiatan.

Perangkat preventif meliputi ketentuan baku mutu lingkungan seperti: baku mutu kualitas udara emisi dan ambien, serta baku mutu kualitas air effluen dan ambien (tawar dan laut).

Kriteria baku kerusakan lingkungan seperti: kriteria baku kerusakan terumbu karang, kriteria baku kerusakan mangrove, kriteria baku kerusakan padang lamun (sea grass), kriteria baku kerusakan gambut, kriteria baku kerusakan karst, kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan atau lahan, dsb juga termasuk grup peraturan preventif.

Hierarki Preventif
Di dalam memformulasikan perangkat preventif yang diarahkan bagi pengelolaan dampak, terdapat hierarki yang selayaknya diupayakan untuk ditempuh yakni: penghindaran (avoidance), pengurangan (minimalization), dan rehabilitasi atau mitigasi.

Dalam proses formulasi pengelolaan dampak, senantiasa didahulukan penghindaran, jika memang dapat diterapkan (applicable). Kalau bisa tak ada limbah padat, cair, dan gas. Kalau mungkin tak ada perubahan landscape ekologi yang terjadi.

Langkah berikutnya adalah meminimalkan dampak, jika sekiranya langkah penghindaran tak mungkin bisa dilakukan. Sebagai misal untuk sub sektor pertambangan umum, upaya penghindaran dampak rasanya agak sulit dilakukan.

Mana mungkin menambang emas, tembaga, timah, dll tanpa pengupasan top soil, tanpa menghasilkan tailing, tanpa merubah landscape ekologi. Kemudian suatu pertambangan terbuka, jika sumberdaya tambangnya sudah habis, maka akan bermigrasi ke tempat lain.

Maka dari itu hirarki pengelolaan dampak berupa penghindaran dan minimalisasi, kiranya agak sukar diaplikasikan di bidang ini. Mekanisme lainnya yang bisa ditempuh adalah dengan upaya rehabilitasi terhadap perubahan lingkungan yang terjadi pada hamparan ekologis.

Oleh karena itu, otoritas pengelola lingkungan perlu melakukan pengawasan yang lebih intensif dan memfasilitasi mekanisme pendanaan lingkungan (Pasal 43 UU 32/2009) melalui: a) Dana jaminan pemulihan lingkungan hidup, b) Dana penanggulangan pencemaran atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup, serta c) Dana amanah/bantuan untuk konservasi.

Selanjutnya dalam rangka keterbukaan informasi dalam pengelolaan lingkungan maka pemerintah juga diamanahi untuk mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup yang mempublikasikan sedikitnya tentang informasi status lingkungan hidup, peta rawan bencana lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lainnya (Pasal 62).

Dalam menegakan peraturan lingkungan wajib, kebijakan represif kiranya perlu diterapkan, manakala kebijakan persuasif sudah tak mempan lagi. Namun pemerintah hingga saat ini lebih mengedepankan pendekatan persuasif dan pembinaan.

Bukti persuasif dan tangan dingin pemerintah ini tergambar dalam PerMenLH No 14 tahun 2010 tentang Dokumen lingkungan hidup bagi kegiatan yang telah memiliki izin usaha tetapi belum memiliki dokumen lingkungan hidup.

Oleh karena itu, pada momen hari lingkungan hidup yang dirayakan setiap tanggal 5 Juni ini, marilah khususnya praktisi industri yang belum taat untuk berupaya patuh terhadap peraturan pengelolaan lingkungan, mumpung pemerintah lebih mengutamakan tangan dingin.
(***)

*) Sekretaris Eksekutif PPLH-IPB

Oleh Hefni Effendi*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011