Berpegang pada jawaban itu, pasangan Rosihan Anwar dan Zuraida Sanawi agaknya masuk golongan pasangan suami-istri yang direstui dan diberkati Tuhan. Pasangan legendaris itu telah berpulang setelah selama 63 tahun menjalin hubungan suami-istri dalam latar sejarah sebelum dan setelah kemerdekaan RI.
Sebuah memoar percintaan dengan judul "Belahan Jiwa" yang ditulis sendiri oleh Rosihan, yang merupakan ikon wartawan Indonesia yang mandiri, terbit oleh Kompas, 2011.
Apa makna memoar percintaan ini buat pembaca? Jawabannya terpulang pada masing-masing orang. Tapi bagi sang penulis, maknanya jelas. Rosihan menulis: "Maka, memoar ini adalah permintaan maaf kepada istri tercinta, mengoreksi kesalahan-kesalahan saya di masa silam..." Apa kesalahan Rosihan pada sang belahan jiwa?
Inilah pengakuan Rosihan: "Timbul penyesalan bahwa dalam kehidupan kami berdua saya mengabaikan istri akibat pekerjaan wartawan tidak mengenal waktu, jam kerja tertentu. Biasa sampai jauh malam menyiapkan surat kabar naik cetak, ketika di awal 1950-an `Pedoman` merupakan koran bertarung memastikan eksistensinya."
Memoar percintaan ini fenomenal dan akan menjadi buku yang tidak biasa alias luar biasa karena beberapa hal. Pertama, penulisnya adalah wartawan-penulis yang konsisten dengan profesinya, yang sampai akhir hayatnya menulis perkara-perkara "serius" dengan pandangan-padangannya yang kritis dan ketus namun mengakhiri kariernya dengan karya tentang percintaan.
Kedua, subjek memoar adalah sepasang manusia yang berkarakter. Ketiga, kiprah dan tempat mereka dalam sejarah negeri ini. Dengan tiga faktor ini, memoar "belahan Jiwa" tak punya tandingan, setidaknya di negeri ini. Sabam Siagian, penulis dan rekan Rosihan, mencoba mengulas seraya menandingkan dengan kisah cinta novel Paternak, "Dr Zhivago". Perbandingan tematik, bukan faktual karena yang satu fakta dan yang lain fiksi.
Dari uraian sepanjang lebih dari 200 halaman, pembaca entah laki-laki atau perempuan akan berkesimpulan: inilah pasangan yang diturunkan Tuhan ke bumi untuk menjadi salah satu teladan hidup. Rosihan dan Ida melewati masa pacaran, tunangan dan rumah tangga dengan anggun. Ada krisis, persoalan dan kesulitan, tapi teratasi.
Persoalan pertama yang mengganjal: Calon mertua perempuan Rosihan meragukan kemampuan sang calon menantu untuk sanggup memberikan kebahagian, terutama material, kepada calon istrinya. Namun Rosihan menang di dua hal: status istimewanya sebagai wartawan yang dekat dengan pembesar dan kedekatannya dengan Usmar Ismail--kelak masyhur sebagai Bapak Perfilman Indonesia--yang terlebih dulu memperistri kakak Ida.
Yang paling menentukan terjalinnya kisah kasih Rosihan-Ida ini tentulah kemantapan atau keteguhan Ida yang mengisyaratkan bahwa pilihannya pada Rosihan sudah tepat. Tidak ada kisah apakah untuk meentukan pilihan jodoh itu sang pemilih terlebih dulu minta petunjuk pada Tuhan. Rosihan sampai 22 bab dari 31 bab yang ditulisnya menulis dengan eksistensialistik. Peran Tuhan biarlah bermain di batin masing-masing manusia. Tak perlu ditebarpesonakan dalam sebuah memoar percintaan yang manusiawi.
Soal menentukan pilihan jodoh tanpa minta petunjuk Tuhan, ada yang mengatakan: kalau untuk menentukan memilih Mince atau Sarce perlu bantuan Tuhan, maka Tuhan tak perlu memberikan otak dan akal budi pada manusia. Tentu Rosihan tak mungkin mengikuti pendapat itu karena pandangan itu dikemukakan jauh setelah Rosihan memperistri Ida.
Dalam memoar ini Rosihan tak menyebut secara eksplisit apa yang menjadi resepnya sehingga pernikahannya dengan Ida abadi. Hanya, beberapa kali Rosihan menyebut frasa "istri dan sahabat" untuk Zuraida yang berdarah campuran Betawi-Eropa-Arab itu. Dengan memperlakukannya sebagai istri sekaligus sahabat, ada seteraan dalam hubungan suami-istri. Hanya dengan kesetaraan itulah peluang poligami ditutup rapat.
Sepanjang enam dekade menjalin rumah tangga, ada masa ketika persahabatan punya arti dalam kesintasan ekonomi rumah tangga. Setelah "Pedoman" dibredel, kata Rosihan, dalam semalam Orde Baru menjadikannya pariah. Secara jujur Rosihan berkisah, ada sahabatnya yang pagi-pagi sudah di depan rumahnya dengan membawa hasil kemengangannya di meja judi.
Kalau mau hidup enak dengan sedikit ongkang-ongkang sebenarnya bisa ditempuh Rosihan. Tak sedikit kawan seperjuangan dan sekolahnya yang menjadi pengusaha. Tawaran untuk itu tentu datang namun Rosihan tetap memilih sebagai penulis. Menulis di mana-mana, di koran besar maupun pariah. Menulis buku, mengajar jurnalistik. Dengan cara itu dia dan sang belahan jiwa berhasil mendidik ketiga anaknya menjadi manusia yang mandiri. "Pendidikan itu penting," kata Rosihan.
Rosihan meninggal 14 April 2011, enam bulan setelah sang belahan jiwa tutup usia. Memoar ini ditulis Rosihan dalam suasana batin yang memilukan, kehilangan orang yang terkasih. Kepiluan itu dibalas setimpal: Zuraida masuk dalam sejarah Indonesia! Bukan hanya Rosihan yang menyejarah, tapi juga belahan jiwanya.
(*)
Oleh Mulyo Sunyoto
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011