Purwokerto (ANTARA) - Musim hujan merupakan berkah bagi seluruh umat manusia dan makhluk hidup lainnya karena banyak manfaat yang dapat diperoleh dari air hujan.
Dengan adanya musim hujan, umat manusia khususnya kaum petani dapat memulai menanam padi di area persawahan tadah hujan.
Bibit tanaman yang ditanam sebagai upaya penghijauan atau reboisasi pun diharapkan dapat tumbuh subur berkat adanya guyuran air hujan.
Air hujan yang terserap ke dalam tanah maupun ditampung di embung atau waduk, dapat menjadi stok kebutuhan masyarakat saat memasuki musim kemarau.
Kendati demikian, masyarakat tetap harus waspada terhadap kemungkinan terjadinya bencana hidrometeorologi saat musim hujan, seperti banjir, tanah longsor, angin langkisau/puting beliung, dan sambaran petir.
Apalagi berdasarkan prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) musim hujan tahun 2021/2022 masih dipengaruhi fenomena La Nina seperti halnya saat musim hujan 2020/2021.
"Kewaspadaan terhadap musim hujan tahun 2021/2022 ini memang harus dimaksimalkan, karena dibarengi dengan berlangsungnya La Nina yang diprediksikan bisa meningkatkan atau menambah jumlah curah hujan berkisar 40 persen hingga 70 persen. Wilayah Jawa secara umum dan khususnya Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen) tak luput dari pengaruh La Nina tersebut," kata Kepala Kelompok Teknisi BMKG Stasiun Meteorologi Tunggul Wulung Cilacap Teguh Wardoyo.
La Nina merupakan merupakan fenomena global dari sistem interaksi lautan dan atmosfer yang ditandai dengan mendinginnya suhu permukaan laut (SST) di ekuator Pasifik Tengah (Nino 3,4) atau anomali suhu muka laut di daerah tersebut negatif, yakni lebih dingin dari rata-ratanya.
Dalam hal ini, La Nina ditandai dengan suhu permukaan laut yang mendingin jauh dari normalnya pada area yang sangat luas, meliputi Samudra Pasifik bagian timur dekat benua Amerika hingga Samudra Pasifik bagian tengah dekat French Polynesia.
Baca juga: Kemenko PMK dorong peningkatan antisipasi bencana hidrometeorologi
La Nina secara umum menyebabkan curah hujan di Indonesia meningkat bila diikuti dengan menghangatnya suhu permukaan laut wilayah Indonesia dan kondisi tersebut diprakirakan akan berlangsung hingga bulan Februari 2022.
"Anomali dianggap dalam kondisi normal ketika nilainya positif 0,5. Menurut pantauan bahwa pada Dasarian I Oktober 2021 anomali tercatat negatif 0,92 atau telah melewati ambang batas La Nina dan pada Dasarian III November 2021 sudah menguat menjadi moderat yang dapat mengakibatkan curah hujan bulanan dapat meningkat 20 hingga 70 persen," katanya.
Jika menilik pengalaman saat musim hujan tahun 2020/2021 khususnya di Jawa Tengah, peningkatan curah hujan akibat pengaruh fenomena La Nina telah mengakibatkan terjadinya bencana banjir di sejumlah wilayah.
Misalnya, pada Januari 2021 yang merupakan puncak musim hujan, bencana banjir tercatat melanda Kabupaten Kudus, Purbalingga, Boyolali, Banyumas, dan Tegal.
Meskipun tidak sampai menimbulkan korban jiwa, bencana banjir tersebut mengakibatkan ratusan warga harus mengungsi ke tempat yang aman.
Bahkan, bencana banjir masih sering terjadi di sejumlah wilayah Jawa Tengah hingga menjelang datangnya musim kemarau.
Selain banjir, bencana tanah longsor juga banyak terjadi selama musim hujan 2021/2022 khususnya selama semester pertama 2021, antara lain di Sawangan, Kabupaten Magelang, yang menewaskan seorang warga pada 12 Januari.
Tidak lama berselang, bencana tanah longsor kembali melanda Kabupaten Magelang, tepatnya di Desa Kaliangkrik pada 26 Januari 2021. Tanah longsor itu menimpa tiga rumah warga, satu kandang ternak, dan mengakibatkan beberapa orang luka-luka.
Demikian pula di Kota Semarang, tanah longsor yang terjadi pada 6 Februari menewaskan dua warga, sedangkan bencana serupa di Kabupaten Kebumen pada 9 Februari menewaskan tiga warga.
Baca juga: Bencana hidrometeorologi permasalahan klasik musim hujan
Sementara di Kabupaten Wonosobo tercatat dua orang meninggal dunia dan satu orang luka-luka akibat tertimpa talut Kantor Kecamatan Watumalang pada 17 Februari.
Mengawali musim hujan tahun 2021/2022, banjir maupun tanah longsor kembali melanda sejumlah daerah di Jateng, antara lain beberapa wilayah Kabupaten Cilacap dan Banyumas pada 28 Oktober 2021 yang disusul dengan banjir bandang di Wonosoco, Kabupaten Kudus, pada 2 November dan 30 November.
Banjir juga merendam empat desa di Kabupaten Cilacap pada 17-18 November, sejumlah wilayah di Kota Pekalongan selama beberapa hari sejak 24 November, serta Juwiring, Kabupaten Klaten, pada 6-7 Desember.
Tingginya curah hujan pada awal musim hujan tahun 2021/2022 juga mengakibatkan terjadinya tanah longsor di sejumlah wilayah Jateng.
Bahkan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banjarnegara mencatat 13 kejadian tanah longsor yang terjadi pada 21-23 Oktober, salah satunya mengakibatkan seorang balita meninggal dunia akibat bencana yang terjadi pada 22 Oktober itu.
Kabar duka pun kembali datang dari Kabupaten Banjarnegara karena tanah longsor di Pagentan pada Jumat (19/11) malam menewaskan empat warga setempat.
Tidak hanya di Banjarnegara, tanah longsor maupun tanah bergerak juga melanda wilayah Cilacap, Banyumas, Solo, Kudus, dan sejumlah daerah lainnya di Jawa Tengah sejak awal musim hujan 2021/2022 hingga penghujung 2021.
Kendati tidak sampai menimbulkan korban jiwa, tanah longsor maupun tanah bergerak di Cilacap, Banyumas, Solo, dan Kudus telah merusak sejumlah rumah milik warga setempat.
Baca juga: Basarnas siagakan personil di desa terdampak banjir di Sumba Tengah
Terkait dengan femomena La Nina moderat yang diprakirakan masih akan berlangsung hingga Februari 2022, Kepala Kelompok Teknisi BMKG Stasiun Meterologi Tunggul Wulung Cilacap Teguh Wardoyo mengingatkan kepada pemerintah daerah, masyarakat, dan semua pihak terkait dengan pengelolaan sumber daya air agar bersiap segera untuk melakukan langkah pencegahan dan mitigasi terhadap peningkatan potensi bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, banjir bandang, angin kencang atau puting beliung.
Dengan demikian, potensi terjadinya bencana banjir dan tanah longsor pada awal 2022 yang merupakan puncak musim hujan dapat diantisipasi dan risiko bencana bisa diminalisasi.
Sambaran petir
Sambaran petir merupakan kejadian yang biasa terjadi saat musim hujan karena adanya perbedaan potensial antara awan dan bumi.
Berdasarkan pengamatan BMKG Stasiun Geofisika Banjarnegara, daerah rawan sambaran petir di Jawa Tengah meliputi wilayah pegunungan tengah Jateng, Cilacap, Tegal, dan Pekalongan, sehingga warga setempat diimbau untuk tetap waspada terhadap petir pada puncak musim hujan.
Sejumlah musibah akibat sambaran petir telah terjadi di wilayah Jawa Tengah sepanjang 2021, antara lain sambaran petir yang menewaskan dua petani dan seorang nelayan di Kabupaten Jepara pada Selasa (16/2) pagi.
Di Cilacap, sambaran petir yang terjadi pada Selasa (16/2) malam mengakibatkan terbakarnya sebuah kapal nelayan berukuran 33 gross tonage (GT) yang tengah bersandar di Pelabuhan Perikanan Samudra Cilacap (PPSC).
Dua kejadian sambaran petir yang menonjol sepanjang 2021 terjadi pada 11 Juni dan 13 November karena diduga mengakibatkan kebakaran tangki di area PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Refinery Unit (RU) Cilacap.
Kebakaran yang melanda area pertangkian 39, kompleks kilang paracilin, PT KPI RU Cilacap pada Jumat (11/6), pukul 19.45 WIB, diduga terjadi akibat sambaran petir karena saat itu wilayah Cilacap sedang diguyur hujan lebat yang disertai petir. Kebakaran di bundwall Tangki 39T-205 itu berhasil dikendalikan kurang lebih satu jam setelah kejadian atau sekitar pukul 20.40 WIB.
Akan tetapi saat dilakukan upaya pendinginan terhadap tangki 39T-205, muncul satu titik api di pipa outlet tangki 39T-203 yang akhirnya dapat dipadamkan pada Minggu (13/6), pukul 10.50 WIB.
Baca juga: BPBD Kota Batu minta warga waspadai potensi bencana tanah longsor
Sementara kebakaran yang terjadi pada Sabtu (13/11), pukul 19.10 WIB, menimpa Tangki 36 T-102 yang berisi komponen pertalite serta berhasil dipadamkan pada Minggu (14/11), pukul 07.45 WIB, dan dinyatakan aman pada pukul 09.15 WIB.
Sama seperti musibah sebelumnya, kebakaran pada pertengahan November itu juga diduga akibat sambaran petir karena saat kejadian, wilayah Cilacap sedang diguyur hujan lebat disertai petir.
Kepala BMKG Stasiun Meteorologi Tunggul Wulung Cilacap Taruna Mona Rachman mengatakan dari alat deteksi petir di BMKG Stasiun Geofisika Banjarnegara diperoleh analisis bahwa pada Sabtu (13/11), pukul 18.00 hingga 19.30 WIB, terdapat dua sambaran petir.
Menurut dia, sambaran petir pertama terjadi pada pukul 18.47 WIB, sedangkan yang kedua pada pukul 19.23 WIB.
"Sambaran petir yang terdekat dengan area kilang terjadi pada pukul 18.47 WIB detik ke-27," katanya.
Kepala BMKG Stasiun Geofisika Banjarnegara Setyoadjie Prayoedhie mengimbau masyarakat di wilayah Jawa Tengah mewaspadai peningkatan frekuensi sambaran petir yang berpotensi terjadi pada puncak musim hujan.
"Sekarang kan sudah mulai puncak musim hujan, potensi peningkatan terjadinya sambaran petir sangat mungkin terjadi. Bulan November, Desember, sampai Januari itu puncak-puncaknya musim hujan sehingga harus diwaspadai," katanya.
Terkait dengan kebakaran tangki di area PT KPI RU Cilacap, ia mengakui potensi terjadinya sambaran petir di wilayah Cilacap tergolong tinggi karena dekat dengan laut, sehingga kebakaran yang melanda Tangki 36 T-102 tersebut diduga akibat sambaran petir.
"Kalau kami lihat, tipe petirnya CG. Tipe CG itu Cloud to Ground (dari awan ke tanah, red.), jadi biasanya tipe-tipe CG ini dipicu oleh awan Cb (Cumulonimbus). Kalau Cumulonimbus kan terkait dengan hujan, makanya sangat dimungkinkan dari (arah, red.) laut itu," katanya.
Berdasarkan data, sepanjang 1995 hingga 2021 tercatat tujuh musibah kebakaran yang terjadi di area kilang Pertamina Cilacap, tiga di antaranya akibat sambaran petir.
Dalam hal ini, musibah kebakaran akibat sambaran petir terbesar terjadi pada 1995 karena saat itu terdapat 10 tangki di area kilang Pertamina Cilacap yang terbakar, sehingga ribuan warga sekitar diungsikan ke tempat yang aman. Sementara dua musibah kebakaran akibat sambaran petir terjadi pada 2021.
Berkaca pada peringatan dini terkait dengan potensi bencana hidrometeorologi pada musim hujan yang dipengaruhi fenomena La Nina moderat, upaya mitigasi terhadap bencana harus ditingkatkan.
Dengan demikian, risiko dari bencana hidrometeorologi maupun musibah yang dipicu oleh sambaran petir dapat diminimalisasi.
Baca juga: Menteri PUPR: Bendungan Ladongi disiapkan untuk kurangi banjir Sultra
Baca juga: Sejumlah kawasan Palembang terendam banjir setelah hujan lebat
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021