Hal ini karena pengaruh ulama yang mampu melaksanakan syiar dan berdakwah, sehingga dapat memberikan pemahaman pada umat mengenai mitigasi bencana. Mengingat hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah rawan bencana
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengemukakan bahwa ulama memiliki peran penting dalam meningkatkan literasi umat soal pencegahan dan penanggulangan bencana.
"Hal ini karena pengaruh ulama yang mampu melaksanakan syiar dan berdakwah, sehingga dapat memberikan pemahaman pada umat mengenai mitigasi bencana. Mengingat hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah rawan bencana," katanya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.
Ia yakin masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, akan sangat patuh dan taat terhadap para ulama. Terlebih informasi yang disampaikan dikemas dengan nilai-nilai religiusitas.
Menurut Dwikorita sinergit ulama dan umaro (pemerintah) akan semakin memperkuat rencana aksi mitigasi guna menekan risiko akibat bencana alam.
"Bencana alam memang tidak bisa dihindari karena merupakan ketetapan Allah SWT, namun manusia bisa berikhtiar dan bersiap dengan segala kemungkinan untuk mengurangi risikonya," katanya
Dwikorita optimistis jika semakin banyak kyai, ulama, dan pemuka agama yang menyampaikan literasi kebencanaan kepada masyarakat maka akan semakin mempercepat terwujudnya masyarakat tangguh bencana. Dengan begitu, target "zero victim" apabila sewaktu-waktu Indonesia dihantam bencana juga bisa tercapai,
"Kesadaran terhadap bencana sangat penting karena dengan meningkatnya pemahaman akan kebencanaan dapat mengurangi dan mengantisipasi dampak risiko bencana," katanya.
Ia memaparkan frekuensi bencana alam di Indonesia terus meningkat, contohnya gempa bumi dimana setiap tahun jumlahnya cenderung terus meningkat. Jika dalam kurun waktu 2008-2016 rata-rata terjadi sebanyak 5.000-6.000 kali dalam setahun, maka di tahun 2017, jumlahnya meningkat menjadi 7.169 kali.
Angka tersebut, kata dia, kemudian naik kembali di tahun 2019 menjadi lebih dari 11.500 kali. Dalam hal bencana tsunami, selama periode tahun 1600 - Oktober 2021, telah terjadi 246 kali tsunami di Indonesia.
Tidak hanya soal gempa bumi dan tsunami, lanjut Dwikorita, dalam hal perubahan iklim, BMKG mencatat tahun 2016 merupakan tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0.8 °C sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2020. Tahun 2020 sendiri menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0.7 °C, dengan tahun 2019 berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali sebesar 0.6 °C.
Kondisi ini pula yang mengakibatkan mencairnya salju abadi di Puncak Jaya, Papua. Bila awalnya luasan salju abadi sekitar 200 km persegi, maka kini hanya menyisakan 2 km persegi atau tinggal 1% saja. Salju dan es abadi di Puncak Jaya sendiri merupakan keunikan yang dimiliki Indonesia, mengingat wilayah Nusantara beriklim tropis.
Fenomena lainnya, tambah dia, munculnya siklon tropis seroja yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) April 2021 lalu. Fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun, selama 10 tahun terakhir kejadian siklon tropis semakin sering terjadi.
"Kondisi ini harus diantisipasi dengan upaya mitigasi yang kuat oleh semua pihak dan elemen masyarakat, termasuk ulama dan pemuka agama. Jika tidak, maka dampaknya akan semakin luas dan sulit tertangani," demikian Dwikorita Karnawati.
Baca juga: BMKG gandeng ulama sebarluaskan informasi cuaca
Baca juga: Kepala BNPB minta libatkan ulama untuk cegah Karhutla Riau
Baca juga: MUI-BNPB edukasi penanganan bencana lewat ceramah
Baca juga: Ulama Aceh digandeng sosialisasikan mitigasi bencana berbasis agama
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021