Surabaya (ANTARA News) - Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Syafii Maarif menilai pejabat sekarang sudah "alergi" Pancasila, padahal mereka seharusnya menjadi teladan tentang penghayatan dan pengamalan Pancasila yang benar.
"Buktinya, pejabat sekarang jarang bicara Pancasila, karena mereka `alergi`. Itu karena Pancasila memang pernah ada selama 20 tahun, namun Pancasila dijadikan alat pembenar kekuasaan," katanya di Surabaya, Selasa.
Di sela-sela Kongres III Pancasila di Auditorium Garunda Mukti Kantor Manajemen Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, ia menyarankan pejabat sekarang untuk meniru Bung Hatta yang melakukan internalisasi Pancasila.
"Artinya, jangan seperti dulu, Pancasila jangan berhenti pada kognitif, apalagi diperalat, sehingga Pancasila disalahgunakan dan akhirnya dijauhi. Pancasila harus ada dalam diri kita, lalu amalkan dan beri contoh, jangan justru memperalat Pancasila," katanya.
Oleh karena itu, tokoh yang dikenal sebagai "Bapak Bangsa" itu menyatakan setuju dan mendukung revisi UU 20/2003 tentang Sisdiknas karena hilangnya muatan Pancasila dalam sistem pendidikan nasional.
"Saya setuju itu (revisi), karena UU Sisdiknas memang harus mengenalkan Pancasila secara benar, tapi revisi UU Sisdiknas itu harus diiringi dengan penyiapan sumberdaya manusia atau tenaga pendidik yang Pancasilais dan patut diteladani," katanya.
Kongres yang diikuti 470-an peserta itu dibuka dengan fragmen "Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI (Dokuritsu Junbi Cosakai)" pada 13 Juli 1945 yang dimainkan Teater Alumni Gadjah Mada (Gama Tua).
Berikutnya juga ditampilkan fragmen "Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI (Dokuritsu Junbi Inkai)" pada 18 Agustus 1945.
Badan/Komisi Khusus
Secara terpisah, Wakil Ketua MPR H Lukman Hakim Saefuddin mendukung keinginan revisi UU Sisdiknas, karena Mendiknas memang harus memberikan muatan nilai-nilai Pancasila dalam sistem pendidikan nasional.
"Karena itu, kami dari MPR mengusulkan pemerintah membentuk badan atau komisi khusus yang tugasnya antara lain merumuskan pengenalan Pancasila secara benar di dunia pendidikan, politik, kemasyarakatan, dan seterusnya," katanya.
Ia menyatakan sudah pernah mengusulkan perlunya badan atau komisi khusus terkait pembudayaan Pancasila seperti BP7 di masa lalu ketika menghadiri pertemuan lembaga negara pada 24 Mei lalu.
"Presiden merespons baik usulan MPR itu, karena itu pemerintah harus segera mewujudkan badan atau komisi khusus itu, karena kita sudah perlu rumusan atau metodologi pembudayaan Pancasila di kalangan pemerintah, politisi, pendidikan, dan masyarakat," katanya.
Menurut dia, badan atau komisi khusus itu nantinya akan merumuskan cara-cara pembudayaan Pancasila yang bukan lagi indoktrinasi, pemaksaan, atau tafsir tunggal, namun melalui cara-cara dialogis.
"Misalnya, saya setuju cara teater untuk pengenalan Pancasila kepada pelajar sekolah menengah atau cara-cara lain yang bukan seperti penataran P4 di masa lalu, sebab bangsa Indonesia yang majemuk sangat membutuhkan Pancasila," katanya.
Namun, ia mengusulkan badan atau komisi khusus itu ada hingga ke tingkat desa atau kelurahan, karena pembudayaan Pancasila memang harus sampai ke lapisan masyarakat di tingkat bawah.
"Demokrasi yang sangat liberal seperti yang kita alami sekarang harus dikembalikan kepada Pancasila yakni demokrasi yang mengutamakan unsur musyawarah atau perwakilan dalam permusyawaratan," katanya.(*)
(T.E011/S024)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011