Makkah (ANTARA News) - Insiden di Jamarat (tempat melontar jumrah), Mina, pada Kamis (12/1) sekitar pukul 13.00 Waktu Arab Saudi (WAS) menewaskan 358 jamaah haji dari berbagai negara dan menyebabkan 252 lainnya luka-luka. Pada musim haji ini, insiden tersebut merupakan yang kedua setelah sebelumnya pada Kamis (5/1), sebuah gedung di Jl Gazzah, dekat Masjidil Haram runtuh dan menyebabkan 76 orang tewas, tiga di antaranya adalah jamaah haji asal Indonesia. Dalam insiden Jamarat yang menewaskan 358 jamaah, 153 di antaranya adalah wanita dan 205 lainnya pria. Dari jumlah itu, dua di antaranya adalah warga Indonesia. Satu orang teridentifikasi atas nama Satimin bin Ngadiyorejo (67), jamaah haji asal Tanggamus, Lampung dari kloter 40 Jakarta-Bekasi. Almarhum yang berprofesi sebagai pedagang beralamat di Mega II Pekon Lom Talang Padang Tanggamus, Lampung dengan nomor paspor 08032457. Sedangkan korban satu warga Indonesia lainnya adalah wanita bernama Rospita Ali Munsir (40) asal Sumbar. Almarhumah adalah isteri dari Rizal, seorang WNI yang bekerja sebagai staf Konjen Brunei Darussalam di Jeddah. Kepala Satuan Operasional Arafah-Mina M Sukiman Azmy mensinyalir penyebab terjadinya tragedi Jamarat, Kamis (12/1), karena para jamaah haji dari berbagai negara menunggu waktu afdhal untuk melontar jumrah yakni ba`da Zahal (tergelincirnya matahari) atau setelah azan Dzuhur. Sehingga mereka berdesakkan di kawasan itu. "Ribuan jamaah haji dari Turki, India, Iran, Bangladesh, Pakistan dan Afrika, menunggu waktu afdhal di garis pintu masuk jamarat di lantai atas, sementara di belakangnya ribuan jamaah lain terus mendesak untuk masuk," katanya. Hal itu menyebabkan ribuan jamaah yang menunggu terdorong dan jatuh akibat desakan dari ribuan jamaah lain di belakangnya, sesaat setelah azan Dzuhur. Mereka yang jatuh kemudian terinjak-injak jamaah yang terus mengalir seperti air. Aparat keamanan yang membuat barikade untuk menahan laju ribuan jamaah pun tidak sanggup menahan mereka. "Alhamdulillah para jamaah kita mengikuti imbauan untuk tidak melontar jumrah pada waktu afdhal (ba`da Zawal) karena saat itulah di tempat jamarat sangat padat oleh jamaah berbagai dunia yang menunggu waktu afdhal," kata Azmy yang juga Kepala Biro Umum Depag. Namun, katanya, setelah dicek ada sekitar 90 jamaah dari KBIH Al Fattah pimpinan Ustad Zainudin Usman dari kloter 40 JKS asal Lampung, yang tidak mematuhi imbauan tersebut. Satimin yang menjadi korban tewas merupakan jamaah dari KBIH tersebut. Azmy menambahkan, saat ini foto-foto korban telah dipampang di RS At Tawari Mu`aisim untuk memudahkan proses identifikasi. Dari hasil pemantauan hingga dinihari, tidak ditemukan lagi adanya korban jamaah haji Indonesia. Demikian pula korban yang luka-luka, belum ditemukan adanya jamaah asal Indonesia. Menurut dia, rencananya pada Jumat (13/1) pagi "penyisiran" di rumah sakit akan dihentikan jika telah dipastikan tidak ada lagi jamaah atau warga Indonesia yang jadi korban. "Mudah-mudahan tidak ada lagi korban warga Indonesia," katanya. Berdasarkan pantauan di lokasi jamarat sejak Kamis (12/1) malam hingga Jumat (13/1) Subuh, lokasi jamarat sudah normal kembali. Jamaah haji yang melakukan pelontaran jumrah tampak sudah tidak terlalu padat seperti sebelumnya. Tenda-tenda darurat yang digunakan untuk mabit (menginap) jamaah berbagai negara di sekitar jamarat juga sudah jarang terlihat. Bahkan, pada dinihari, suasana pelontaran di jumrah Ula, Wustha dan Aqabah relatif sepi. Pada saat dinihari hingga menjelang Subuh, nampak jamaah Indonesia banyak yang mempergunakan waktu tersebut untuk melontar jumrah. Pemerintah Arab Saudi sendiri telah mengambil langkah-langkah yang cukup cepat untuk menangani peristiwa tersebut. Berdasarkan pengamatan, sekitar pukul 15.30 WAS atau sekitar 2,5 jam setelah kejadian, di lokasi kejadian sudah nampak normal seperti tidak terjadi apa-apa. Tujuh kontainer dan ribuan aparat dikerahkan untuk mengevakuasi korban, memblokade lokasi dan membersihkan tempat kejadian. Sebenarnya upaya pemerintah Arab Saudi yang memperlebar ketiga tugu pelontaran jumrah sudah cukup berhasil karena telah membuat suasana pelontaran tidak terlalu berdesak-desakan. Namun demikian, jika jamaah menggunakan waktu yang sama (ba`da Zawal) tentunya situasi yang sangat padat sulit terhindarkan. Sementara itu, staf Konjen Brunei Darussalam di Jeddah, Rizal --yang isterinya menjadi korban-- mengatakan, Kamis (12/1) sekitar pukul 15.30 WAS, dirinya bersama isteri (almarhum Rospita) dan ibunya berada di tengah keramaian orang yang melakukan jumrah. "Ketika orang ramai berdesakan mau melontar jumrah, kami terbawa arus menuju ke atas jembatan jamarat. Di depan saya lihat sudah banyak orang jatuh duluan, saya pun jatuh menimpa tumpukan orang-orang sehingga jadi ada dua lapis manusia yang terinjak-injak. "Polisi tiga kali berusaha menghentikan arus manusia, tapi tidak berhasil. Untuk maju ke depan tidak bisa karena sudah banyak mayat bergelimpangan," kata Rizal. Saat itu Rizal mengaku terpisah dari isterinya namun berhasil menyelamatkan ibunya. Belakangan, isterinya ia temukan sudah meninggal dunia. "Saya sudah kenali, itu (jenazah) memang isteri saya, saya buka gelangnya, cincinnya belum sempat, tetapi oleh polisi sudah langsung dibawa. Dia (almarhumah) memakai baju merah dan hitam," kata Rizal yang ditemui di RS At Tawari Mu`aisim, Mina, dengan mata berkaca-kaca menahan haru. Sedangkan Satimin bin Ngadiyorejo (67), berangkat bersama 90 anggota jamaah haji dari Kelompok Bimbingan Jamaah Haji (KBIH) Al Fattah pimpinan KH Zainuddin Usman sekitar pukul 11.00 WAS, dengan harapan jumrah ba`da Zawal yang sering disebut-sebut sebagai waktu afdhal melontar jumrah. Dalam rombongan KBIH tersebut terdapat sejumlah pejabat Kabupaten Tanggamus, antara lain Ketua DPRD Tanggamus Al Hajar dan Dandim Tanggamus Letkol (TNI) Sudirman. Samiyem (60), istri almarhum Satimin, tidak ikut melontar jumrah karena pinggangnya sedang sakit. Pasangan Satimin-Samiyem memiliki 14 anak. Samiyem mengaku saat mengantar suaminya di pintu tenda menjelang keberangkatan menuju Jamarat menjadi pertemuan terakhirnya dengan suami tercinta. Insiden Jamarat yang menewaskan 358 orang tersebut menambah catatan musibah di jamarat selama pelaksanaan ibadah haji. Sebelumnya, pada 1 Februari 2004 sebanyak 251 orang jamaah meninggal dunia di Jamarat akibat berdesak-desakan dan terinjak-injak saat melakukan lontar jumrah. Pada 11 Februari 2003 sebanyak 14 orang meninggal dunia di Jamarat, enam di antaranya wanita. Pada 5 Maret 2001 sebanyak 35 orang jamaah meninggal dunia serta puluhan lainnya luka-luka dan pada 9 April 1998 sebanyak 118 orang jamaah meninggal dunia, juga karena berdesak-desakan dan terinjak-injak saat pelaksanaan lontar jumrah. Sudah saatnya mempertimbangkan kembali agar menghindari melontar jumrah pada waktu Afdhal, karena pada saat itulah kepadatan di jamarat berada pada puncaknya. Dengan menghindari waktu afdhal pelontaran jumrah tersebut, kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap jamaah asal Indonesia akan dapat terhindari.(*)
Oleh Oleh Arief Mujayatno
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006