Jakarta (ANTARA) - Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Herlambang P Wiratraman mengimbau masyarakat Indonesia untuk mewaspadai keberadaan pasukan siber yang dapat memengaruhi opini publik dan mengancam demokrasi.
“Tren pasukan siber ini akan semakin terorganisasi untuk memengaruhi opini publik, perasaan publik, dan itu justru sangat berbahaya bagi demokrasi,” ujar Herlambang P Wiratraman.
Ia menyampaikan imbauan tersebut saat menjadi narasumber dalam webinar nasional bertajuk “Refleksi Akhir Tahun 2021 Penegakan Hukum: Peluang dan Tantangan ke Depan” yang disiarkan langsung di kanal YouTube PSH FH UII, dipantau dari Jakarta, Senin.
Baca juga: Mahfud ingatkan ancaman siber dan radikalisme di Mako Brimob
Herlambang yang merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menyampaikan bahwa Riset Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menunjukkan pasukan siber tersebut telah ada sejak tahun 2012 di Indonesia.
Berdasarkan data yang diperlihatkan Herlambang dalam webinar tersebut, pada tahun 2012, LP3ES menemukan adanya pasukan siber yang memengaruhi opini publik saat pemilihan gubernur di Jakarta. Ada pula isu politik identitas yang dibawa pasukan siber pada tahun 2017 dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta.
Fenomena keberadaan pasukan siber tersebut, kata Herlambang, merupakan wujud represi media dan hukum di masa-masa ketika dunia memasuki era manipulasi.
Baca juga: Pada 2022, RUU PDP harus segera disahkan jadi undang-undang
Di era manipulasi, kata Herlambang, kebohongan, kontra narasi, dan tindakan-tindakan yang menghambat ataupun mendangkalkan informasi bermunculan.
“Jadi, tidak mengejutkan muncul fenomena pasukan siber, industri hoaks, buzzer, dan aktor-aktor yang menyangkal informasi,” ujar dia.
Dengan demikian, lanjut Herlambang, fenomena tersebut berdampak pada munculnya disinformasi yang membahayakan. Contohnya, dalam konteks pandemi COVID-19.
Baca juga: Mahfud-Mendagri Australia bertemu bahas keamanan siber
Menurutnya, pasukan siber yang memengaruhi opini publik untuk menyangkal adanya virus COVID-19 justru dapat membahayakan nyawa warga Indonesia. Di samping itu, Herlambang mengatakan pasukan siber dapat melanggar hak-hak dasar warga, termasuk hak atas informasi publik.
Oleh karena itu, katanya, masyarakat perlu waspada dan senantiasa mencermati segala informasi yang diperoleh.
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021