"Hal ini akan membuat mahasiswa tidak mampu memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang diajukan masyarakat luar kampus kepada mereka," kata dia saat memberikan kuliah umum di Sekolah Tinggi Agama Islam Sufyan Tsauri (STAIS) Majenang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Minggu sore.
Selain itu, katanya, radikalisme di dalam kampus juga dapat dipicu oleh isi dan metode kuliah agama, kelemahan pendampingan, dan adanya aktivitas pihak luar yang masuk ke dalam lingkungan kampus.
Menurut dia, energi mahasiswa yang berlebihan juga ikut mendorong munculnya gerakan radikal tersebut.
Dalam berbagai pemberitaan media massa, lanjutnya, kata "radikal" dan "fundamental" selalu diikuti dengan Islam.
"Sangat disayangkan, media sering melakukan ini. Padahal radikal dan fundamental tersebut sudah sangat menggejala di berbagai tempat dan dilakukan oleh banyak pihak (di luar Islam, red.)," katanya.
Akan tetapi, kata dia, yang lebih mengkhawatirkan justru perilaku radikal yang dikemas dalam isu agama untuk kepentingan politik praktis.
Dalam hal ini, dia mencontohkan adanya gesekan antarpendukung partai politik (parpol) Islam di Jawa Tengah beberapa waktu lalu sehingga merugikan warganya sendiri.
Terkait faktor pendorong radikalisme dalam agama, dia mengatakan, hal itu akibat adanya pelarian dari realitas tak menyenangkan, gambaran agama tengang dunia tanpa penyimpangan, serta karena dorongan perkuatan kepercayaan dan pemiskinan kemampuan menalar.
Selain itu, lanjutnya, emosi keagamaan, campur aduk agama dan politik, serta politisasi agama akan makin mendorong tumbuhnya radikalisme dalam agama.
Menurut dia, politisasi agama dinilai sangat berbahaya karena membenarkan perebutan kekuasaan dengan dalih agama. (SMT/Z002/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011