Jakarta (ANTARA) - Indonesia menyatakan penolakannya untuk mengikat perjanjian terkait rantai pasok global, yang membolehkan RI untuk mengekspor bahan mentah, pada pertemuan G20 di Roma.

Di hadapan 16 negara saat itu, sikap Presiden Joko Widodo yang enggan menandatangani kesepakatan, jelas menegaskan keinginan agar Indonesia menghentikan ekspor bahan mentah ke berbagai negara.

Sejak 1 Januari 2020, Indonesia resmi berhenti mengekspor nikel. Jika ada negara yang menginginkan nikel dari Indonesia, maka harus berinvestasi dan mengolahnya di dalam negeri menjadi produk bernilai tambah.

Keputusan tersebut berujung pada gugatan Uni Eropa kepada Indonesia di Badan Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Wajar saja, Presiden menyampaikan bahwa Uni Eropa merupakan salah satu negara tujuan ekspor bahan mentah Indonesia.

Namun, Presiden tak gentar meskipun langkah yang diputuskannya mungkin akan menyebabkan Indonesia diblok oleh negara-negara lain.

Setelah nikel, Presiden membidik bauksit, tembaga, dan timah untuk melanjutkan rencana penghentian ekspor bahan mentah Indonesia. Presiden Jokowi ingin, keberanian menghentikan ekspor bahan mentah tersebut akan memuluskan proses industrialisasi dan hilirisasi di dalam negeri.

Fokus pada upaya industrialisasi dan hilirisasi itu menjadi salah satu kunci Indonesia berhasil mengevolusi perdagangannya.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memproyeksi, kendati masih tertekan defisit neraca dagang migas, namun kinerja ekspor yang moncer akan membawa Indonesia pada surplus neraca perdagangan terbesar sepanjang sejarah yakni mencapai 37 miliar dolar AS hingga akhir 2021.

Capaian tersebut sekaligus menandakan adanya evolusi perdagangan Indonesia. Pada 2011, tiga dari lima produk yang diekspor Indonesia adalah komoditi primer, di antaranya barang-barang pertambangan, yaitu batubara, karet, dan bijih logam.

Sedangkan pada 2021, produk ekspor RI berevolusi menjadi barang industri yang bernilai tambah, seperti Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya, besi baja, elektronika, dan otomomotif.

Pada 10 tahun lalu, tidak pernah terbayang bahwa Indonesia akan menjadi negara pengekspor besi baja yang cukup kuat, di mana pada 2020, ekspor besi baja Indonesia mencapai 10,86 miliar dolar AS. Mendag memperkirakan, hingga akhir 2021, ekspor besi baja akan meningkat hingga 20 miliar dolar AS.

Cerita sukses evolusi Indonesia sebagai penjual barang mentah menjadi pengekspor barang industri dan industri bernilai tambah, tidak terjadi dalam satu malam, melainkan terdapat berbagai upaya yang dilakukan secara disiplin.

Pertama adalah kesadaran bahwa Indonesia memiliki pasar yang sangat besar. Dengan jumlah penduduk mencapai 260 juta jiwa, Indonesia mampu menyedot perhatian investor dunia untuk masuk dan membangun investasi di dalam negeri. Hal tersebut didukung pula oleh kondisi alam nusantara yang relatif stabil.

Kondisi alam RI juga menjadi salah satu alasan Jepang ramai-ramai merelokasi konsentrasi produksi otomotif yang ada di Thailand ke Indonesia, karena pada 2010, Thailand dilanda Banjir Bandang Ayodhya. Hal tersebut membuat industri otomotif Indonesia bergerak maju, dan mulai merajai pasar-pasar di dunia.

Upaya kedua, Indonesia melakukan disiplin untuk hilirisasi industri komoditas pertambangan. Hal itu tercermin dari komoditas ekspor unggulan Indonesia, yang saat ini beralih ke produk industri dari sebelumnya berupa komoditas pertambangan.

Hal ketiga, terjadinya pemerataan investasi ke seluruh wilayah di Indonesia, di mana sebelumnya hanya terfokus di Pulau Jawa. Dengan demikian, potensi ekonomi seluruh daerah di Indonesia menjadi tergali.

Kendati banyak faktor pendukung, salah satu buah manis yang dipetik dari keberanian RI mengevolusi perdagangannya adalah surplus neraca perdagangan yang dicapai sepanjang tahun, bahkan Indonesia berhasil mencetak rekor-rekor perdagangan luar negeri sepanjang sejarah tahun ini. Prestasi tersebut tentu saja dapat dijadikan modal untuk pemulihan ekonomi pasca-pandemi COVID-19.

Neraca perdagangan

Memasuki Januari 2021, neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus 1,9 miliar dolar AS. Kontribusi terbesar berasal dari surplus neraca nonmigas yang mencapai 2,6 miliar dolar AS dan defisit neraca migas sebesar 668,1 juta dolar AS. Dan surplus di awal tahun itu merupakan yang tertinggi sejak Januari 2014, di mana angkanya defisit 0,43 miliar dolar AS.

Tren surplus neraca perdagangan berlanjut pada Februari 2021 yang mencapai 2 miliar dolar AS. Surplus tersebut disumbang oleh surplus nonmigas sebesar 2,44 miliar dolar AS dan defisit neraca migas sebesar 0,44 miliar dolar AS dengan komoditas penyumbang surplus antara lain bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan/nabati, besi dan baja, karet dan produk dari karet, serta alas kaki.

Pada Maret 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan RI mengalami surplus 1,57 miliar AS dengan total nilai ekspor 18,35 miliar dolar AS dan impor 16,79 miliar dolar AS. Di bulan ketiga tersebut, Indonesia berhasil mencetak rekor ekspor tertinggi sejak 2011 yang kala itu angka ekspornya mencapai 18,64 miliar AS. Adapun tiga komoditas ekspor yang mendongkrak ekspor nonmigas RI kala itu yakni besi baja, CPO, dan otomotif.

Surplus neraca perdagangan RI kembali terjadi pada April 2021 sebesar 2,19 miliar dolar AS dengan nilai ekspor 18,48 miliar dolar AS dan impor 16,29 miliar dolar AS. Mengejutkan, nilai ekspor RI pada April mencetak rekor tertinggi sejak Agustus 2011 atau sepuluh tahun lalu yang angkanya 18,64 miliar dolar AS. Tingginya nilai ekspor tersebut tidak terlepas dari harga komoditas di pasar global yang juga naik di bulan itu.

Neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2021 kembali surplus sebesar 2,36 miliar dollar AS. Dengan begitu, surplus pada Mei membuat Indonesia mengalami surplus selama 13 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Surplus pada Mei merupakan yang tertinggi sepanjang 2021. Semula, surplus tertinggi terjadi pada April 2021 sebesar 2,19 miliar dollar AS.

Surplus perdagangan RI memecahkan rekor kembali pada Agustus 2021 dengan nilai 4,74 miliar dolar AS. Nilai surplus tersebut menembus rekor sebelumnya, yakni pada Desember 2006 yang angkanya 4,64 miliar dolar AS. Pada kondisi itu, besi dan baja, serta minyak hewan nabati masih menjadi primadona komoditas ekspor.

Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada Oktober 2021 sebesar 5,73 miliar dolar AS. Mendag menyebut, surplus neraca perdagangan tersebut menjadi yang terbesar sepanjang sejarah perdagangan Indonesia.

Pada bulan kesepuluh, Indonesia juga mencetak kinerja ekspor tertinggi selama menjani perdagangan luar negeri. Ekspor Indonesia pada Oktober 2021 tercatat sebesar 22,03 miliar miliar dolar AS. Kinerja ekspor Oktober mencetak rekor baru dengan nilai ekspor bulanan tertinggi juga sepanjang sejarah, bahkan melampaui angka Agustus 2021.

Neraca dagang RI semakin moncer hingga November 2021, yang mencapai surplus 3,51 miliar dolar AS. Sederet prestasi dagang tersebut membuat perdagangan Indonesia di atas angin dengan nilai surplus akumulatif periode Januari-November 2021 sebesar 34,32 miliar dolar AS atau setara Rp492,42 triliun.

Nilai tersebut hampir dua kali lipat dari surplus periode yang sama pada 2020 yang sebesar 19,52 miliar dolar AS.

Hingga akhir 2021, surplus neraca perdagangan diproyeksi mencapai 37 miliar dolar AS. Sedangkan akumulasi nilai ekspor sepanjang 2021, diperkirakan akan mencapai 209 miliar dolar AS. Jika tercapai, artinya RI menembus rekor ekspor tertinggi baru sejak 2011, yang angkanya 203,5 miliar dolar AS.

Dengan capaian-capaian itu, tidak heran jika berbagai pihak memprediksi perekonomian Indonesia akan cepat pulih dari dampak pandemi COVID-19. Semoga bukan hanya pulih, tapi Indonesia juga mulai unjuk gigi kekuatan dagangnya sebagai buah manis berevolusi.


Baca juga: Mendag proyeksi surplus neraca perdagangan RI capai 37 miliar dolar
Baca juga: Pemerintah diminta jaga surplus neraca dagang

Baca juga: Wamendag: Perjanjian dagang tingkatkan surplus neraca perdagangan

Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2021