Jakarta (ANTARA) - Menuju penghujung tahun 2021, tepatnya Kamis (16/12), Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) gagal dibawa menuju Rapat Paripurna DPR RI Penutupan Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022 untuk dijadikan sebagai RUU inisiatif DPR.

Kegagalan tersebut memperpanjang penantian terhadap pengesahan RUU TPKS yang telah diusulkan sejak tahun 2016.

Menurut Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, gagalnya RUU TPKS dibawa menuju rapat paripurna disebabkan oleh masalah teknis, yakni telah melewati batas waktu rapat pimpinan ataupun badan musyawarah. Ia mengatakan pembahasan RUU TPKS belum selesai di tingkat I sehingga tidak sempat untuk dimasukkan kedalam agenda rapat pimpinan ataupun badan musyawarah.

Meskipun begitu, Sufmi Dasco Ahmad menyatakan, pada masa sidang ke depannya setelah reses, DPR RI berencana memasukkan RUU TPKS kedalam agenda rapat pimpinan dan badan musyawarah untuk segera disahkan ke paripurna.

Selagi kembali menanti, sebenarnya bagaimana potret kasus kekerasan seksual di Tanah Air serta urgensi dan kontra yang memenuhi perjalanan panjang RUU TPKS untuk disahkan?

Seperti yang umum diketahui belakangan ini, maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi membawa berbagai rekaman kasus naik ke permukaan. Nyatanya, tidak hanya COVID-19 yang menjadi wabah, kasus kekerasan seksual pun menjadi wabah yang seolah-olah tidak memiliki titik akhir.

Baca juga: Anggota DPR yakin dukungan moral NU percepat proses RUU TPKS

Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, di sepanjang tahun 2020, telah terjadi 299.991 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Wabah kasus kekerasan seksual mendominasi data tersebut, yakni sebesar 45,6 persen yang terjadi di ranah publik atau komunitas dan 17,8 persen terjadi di ranah personal.

Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) menyajikan data yang sama mirisnya. Berdasarkan pengumpulan data pada tahun 2019, kekerasan terhadap anak mencapai 11.057 kasus, 11.279 kasus pada 2020, dan 12.566 kasus hingga November 2021. Dari data-data itu, kasus kekerasan seksual lagi-lagi menjadi kasus yang paling banyak dialami oleh anak, yaitu sebesar 45 persen.

Hal yang lebih memilukan tentang kekerasan seksual juga terdengar baru-baru ini, yaitu kasus pelecehan dan pemerkosaan yang dilakukan pengelola pesantren di Jawa Barat terhadap belasan anak didiknya.

Pemaparan data di atas menjadi bentuk lain dari nyaringnya suara yang mendorong pengesahan RUU TPKS sebagai payung hukum yang diharapkan mampu menghentikan laju wabah kekerasan seksual.

Urgensi pengesahan RUU TPKS

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo memandang RUU TPKS memang mendesak untuk segera dijadikan sebagai RUU inisiatif DPR dan kemudian disahkan menjadi undang-undang karena penanganan terhadap kasus kekerasan seksual masih dihadapkan pada kekosongan hukum.

Sejumlah aturan yang ada, kata Rahayu, belum mampu secara spesifik mengatur segala hal terkait penindakan terhadap kasus kekerasan seksual yang dapat memberikan keadilan dan melindungi para korban.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), bahkan Undang-Undang tentang Pornografi belum mampu menjadi payung hukum pelindung warga negara Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual.

Baca juga: Deputi V KSP: Pengesahan RUU TPKS sangat esensial

Hal senada juga disampaikan oleh Praktisi Hukum Gugum Ridho Putra. Secara khusus, ia membahas kekosongan hukum terkait penindakan kasus kekerasan seksual dalam KUHP.

Gugum mengatakan KUHP belum mencakup kejahatan seksual nonfisik, seperti kejahatan dalam bentuk verbal yang dapat menyerang psikis korban dan mengintimidasi mereka. Di samping itu, menurutnya, ketentuan yang dimuat KUHP belum mengakomodasi kepentingan terbaik bagi para korban kekerasan seksual sehingga kasus itu pun menjadi fenomena gunung es.

Artinya, kasus yang terungkap hanya merupakan sebagian kecil dari kasus yang terjadi sebenarnya karena lebih banyak korban bungkam dengan berbagai alasan, seperti takut pengakuannya tidak dipercayai, merasa hal yang dialaminya adalah aib, bahkan menilai hukum di Tanah Air tidak akan berpihak kepadanya.

Dalam pembuktian pun, KUHP masih menerapkan sistem pembuktian kasus kekerasan seksual sebagaimana kasus pidana biasa, yaitu dibutuhkan 2 alat bukti yang cukup. Padahal, tidak semua korban mampu menghadirkan bukti-bukti.

Kontra pengesahan RUU TPKS

Meskipun urgensi pengesahan RUU TPKS itu hadir secara nyata, fakta di lapangan justru masih menyisakan beberapa pihak yang memosisikan diri pada sisi kontra RUU TPKS.

Sejumlah alasan pun mengemuka, seperti yang dipaparkan Gugum. Menurutnya, salah satu faktor yang mendorong penolakan terhadap RUU TPKS adalah judul rancangan undang-undang tersebut. Ada beberapa pihak yang memandang penggunaan kata “kekerasan” dalam judul RUU TPKS berpotensi menyisakan persoalan norma baru, yakni aspek nonkekerasan justru menjadi tidak diatur di dalam aturan tersebut.

Dengan demikian, segala tindakan seksual yang tidak berunsur kekerasan dianggap tidak akan mendapatkan sanksi hukum. Oleh karena itu, pihak bersangkutan menginginkan RUU TPKS diubah judulnya menjadi RUU Tindak Pidana Kesusilaan.

Alasan selanjutnya adalah indikasi sexual consent. Artinya, tidak adanya larangan perzinahan dan hubungan sesama jenis mengindikasikan perbuatan itu diperbolehkan oleh RUU TPKS.

Untuk menanggapi pandangan tersebut, Ketua Panitia Kerja RUU TPKS Willy Aditya pun menegaskan bahwa RUU TPKS tidak mengandung sexual consent. Willy menyatakan adanya pandangan tentang dimuatnya sexual consent dalam RUU TPKS disebabkan kekeliruan pemahaman beberapa pihak.

Baca juga: Kemen PPPA harapkan RUU TPKS ditetapkan sebagai inisiatif DPR

Dari alasan-alasan yang dikemukakan itu, dapat dipahami bahwa penolakan yang muncul terhadap RUU TPKS sebenarnya menjadi masukan yang nantinya akan membuat aturan tersebut menjadi lebih baik.

RUU TPKS dalam harapan ke depannya

Dengan sejumlah kontra dan kendala yang ada, apabila diamati mendalam, hal-hal tersebut sejatinya bukan mengartikan bahwa RUU TPKS tidak memiliki harapan untuk segera disahkan. Silang pendapat yang hadir masih berpeluang untuk menemukan jalan keluar. Oleh karena itu, harapan untuk RUU TPKS menjadi inisiatif DPR, lalu disahkan, masih ada.

Seperti yang dikatakan oleh Gugum Ridho Putra, kerja keras DPR RI dalam merespons kebutuhan hukum masyarakat, yaitu payung hukum tegas untuk melindungi masyarakat dari kasus pelecehan seksual, tetap harus diapresiasi.

Ia menyampaikan, meskipun RUU TPKS memang mendesak untuk segera disahkan, perumusan aturan tersebut harus dilalui dengan kecermatan yang tinggi sehingga tidak melahirkan pasal-pasal multitafsir, memberi peluang oknum melakukan kesewenangan, dan membuka peluang persoalan hukum lain.

Dari seluruh penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengawalan dan pendorongan agar RUU TPKS segera disahkan sebagai payung hukum yang mellindungi bangsa dari segala bentuk kekerasan seksual memang tidak bisa diabaikan.

Di samping itu, yang tidak kalah penting untuk dipahami adalah penantian yang panjang terhadap pengesahan RUU TPKS karena berbagai pandangan yang ada sudah sepatutnya diolah menjadi harapan dan optimisme bahwa peraturan itu ke depannya mampu menjadi payung hukum terbaik bagi segenap bangsa Indonesia agar terlindungi dari kekerasan seksual.

Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021