Pemerintah daerah untuk memetakan daerah di wilayahnya yang memiliki potensi stunting

Jakarta (ANTARA) - 25 Januari 2021, menjadi hari di mana Presiden RI Joko Widodo menaruh sebuah gunung besar di atas pundak sebuah lembaga bernama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang dipimpin oleh seorang dokter kandungan bernama DR (H.C). dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K).

Hasto dan seluruh awak yang bertugas, diberikan kepercayaan melalui disahkannya Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 pada tanggal 5 Agustus 2021 untuk menciptakan anak-anak bangsa berkualitas unggul melalui percepatan penurunan tingginya jumlah anak yang lahir dalam keadaan kerdil (stunting) di Nusantara.

Lewat amanah besar itu, BKKBN dihadapi dengan tantangan menurunkan angka stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024. Namun, berdasarkan data Survey Status Gizi Balita Indonesia sejak tahun 2019, angka prevalensi stunting milik Indonesia masih mencapai angka 27,67 persen.

Sangat jauh dari standar yang digaungkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) yakni di bawah 20 persen. Sehingga untuk mencapai angka 14 persen itu, perlu setidaknya menurunkan sebanyak lima persen setiap tahunnya.

Hasto sendiri mengaku menekan angka tersebut sangat tidak mudah. Bila ingin menangani stunting, berarti pihaknya juga harus berhadapan dengan tingginya angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB).

Yakni terdapat 305 kasus kematian ibu dari 100.000 kelahiran hidup dan 24 kasus kematian bayi dari 1.000 kelahiran.

Berbicara tentang awal mula stunting, dia mengatakan bahwa stunting disebabkan oleh kurangnya asupan gizi pada ibu hamil akibat kurangnya edukasi dan adanya pemahaman gaya hidup yang salah sejak usia remaja.

"Padahal kesehatan remaja sangat menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan terutama dalam upaya mencetak kualitas generasi penerus bangsa di masa depan. Namun anggapan mengenai ukuran kecantikan yang diidentikkan dengan langsing atau badan kurus menjadi tantangan besar dalam upaya pencegahan stunting,” ucap Hasto.

Sayangnya, bukan semakin sehat dengan mengurangi jumlah asupan makanan yang dimakan, banyak remaja putri akhirnya terkena penyakit anemia, Menyebabkan tingginya kelahiran bayi prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yang menjadi salah satu indikasi stunting.

Kondisi stunting semakin diperparah dengan adanya COVID-19 yang sudah hampir dua tahun mewabah di Indonesia. Para ibu jadi tidak bisa datang ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan edukasi atau memeriksakan kandungan dengan optimal karena takut terkena virus tersebut, kata Hasto.

Oleh sebab itu, berbagai cara yang menguras keringat dan air mata ditempuh pihaknya untuk bisa meningkatkan taraf kesehatan pada ibu hamil dan membentuk anak-anak bangsa yang cerdas.

Baca juga: Perlu fokus capai bonus demografi yang hanya terjadi sebentar

Baca juga: BKKBN: Pemahaman gaya hidup yang salah sebabkan remaja putri anemia

Fokus pada PUS

Berbicara tentang menyelesaikan stunting, tentu BKKBN langsung berfokus melakukan intervensi dari hulu masalah tersebut yakni para remaja dan Pasangan Usia Subur (PUS) yang kelak akan menjadi orang tua dari seorang anak.

Selain diet dan standar kecantikan yang tak wajar, BKKBN menyoroti banyak masyarakat beranggapan bahwa asupan gizi terbaik berasal dari makanan yang mewah atau mahal seperti daging. Padahal seharusnya bukan melihat harganya, tetapi kecukupan pada asupan protein hewaninya seperti pada telur, ikan atau belut.

Guna mengubah persepsi itu, maka BKKBN membuat sebuah program bernama Dapur Sehat Atasi Stunting (Dashat) yang didirikan di beberapa Kampung Keluarga Berkualitas yang tersebar di Indonesia.

Dashat merupakan sebuah dapur yang mengolah aneka lauk pauk dari sumber pangan lokal bersama para ahli gizi untuk menyusun menu sehat dengan porsi gizi yang disesuaikan dengan para ibu hamil.

Plt. Deputi Pengendalian Penduduk BKKBN Dwi Listyawardani mengatakan selain menjadi basis penanganan stunting di tingkat desa, Dashat yang didirikan melalui program pemberdayaan gotong royong itu, juga bisa dimanfaatkan sebagai kegiatan ekonomi kreatif yang bersifat mandiri karena memanfaatkan bahan pangan lokal.

Dapur sehat itu, kata dia, turut dimanfaatkan sebagai gudang informasi yang memberikan pemahaman mengenai gizi pada masyarakat serta pembekalan mengenai pentingnya 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) pada bayi.

Selanjutnya mengenai pemberian edukasi, Dwi mengaku tidak hanya Dashat yang digunakan untuk mencerdaskan putra putri bangsa dalam mendapatkan informasi terkait gizi, tetapi juga melalui Tim Pendamping Keluarga yang saat ini sudah menjalankan pelatihan sejak bulan Oktober sampai November 2021 lalu.

Ikut menambahkan, Hasto menyebutkan setidaknya pihaknya telah memiliki 600.000 personel yang nantinya akan dibentuk ke dalam 200.000 tim.

“Sampai di tingkat desa, ada namanya tim pendamping keluarga. Satu tim terdiri dari satu bidan, satu kader, satu PKK. Total orangnya ada 600.000 kira-kira akan mendampingi mendekati dua juta (jiwa). Mendekati 4,8 juta yang hamil setahun dan baduta 1.000 HPKnya ada 10 juta,” kata Hasto.

Tim pendamping tersebut memiliki tugas mendeteksi faktor stunting baik yang spesifik maupun sensitif melalui pendampingan dan surveillance yang mencakup penyuluhan, mendampingi ke fasilitas pelayanan rujukan hingga penerimaan bantuan sosial.

Dalam aspek kesehatan, calon pengantin yang ingin menikah akan diberikan pendampingan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan seperti periksa Hemoglobin (Hb) dalam darah, mengukur tinggi badan serta berat badan minimal tiga bulan sebelum melaksanakan pernikahan.

Bahkan, untuk lebih membuka mata masyarakat mengenai pentingnya pencegahan stunting, digencarkannya kolaborasi bersama kementerian lembaga sehingga intervensi yang dilakukan berjalan maksimal, juga menjalin hubungan dengan beberapa duta besar seperti Mozambik, Perancis dan Finlandia supaya informasi stunting lebih menyebar dan dapat bertukar cara menyelesaikan stunting.

Gelora semangat tersebut tak terputus sampai di situ. Adanya budaya turun temurun yang mengatakan banyak anak lebih baik atau seruan segera punya anak setelah menikah jadi tantangan selanjutnya.

Melawan persepsi itu, BKKBN menyerukan slogan 4T (empat terlalu) yakni Jangan hamil terlalu muda, jangan hamil terlalu tua, jangan hamil terlalu banyak dan jangan hamil terlalu sering. Melalui edukasi pentingnya pemakaian alat kontrasepsi pada ibu setelah melahirkan.

Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Eni Gustina menargetkan 70 persen ibu hamil akan mengikuti program Keluarga Berencana (KB) pasca persalinan.

“KB pasca persalinan adalah kunci untuk kita kejar untuk menciptakan generasi masa depan yang berkualitas bagi negara, melalui terciptanya jarak kehamilan, serta upaya untuk melaksanakan percepatan penurunan stunting,” tegas Eni.

Menurutnya penyaluran biaya operasional program Keluarga Berencana (KB), telah diberikan untuk bisa mendukung pemakaian alat kontrasepsi jangka panjang kepada dinas kesehatan kabupaten atau kota.

Saat ini sedang berlangsung Gerakan Rumah Sakit Layanan Keluarga Berencana (Gema Kencana) di setiap rumah sakit untuk dapat membantu masyarakat mengakses edukasi dan layanan program KB dan menjalankan penyuluhan dari pintu ke pintu.

Selain itu, mengingat takutnya ibu pergi ke fasilitas kesehatan karena COVID-19, BKKBN mengubah strategi dengan membuka layanan KB di banyak titik, meluncurkan Gerakan Sejuta Akseptor dan melakukan pemasangan alat kontrasepsi gratis.

Baca juga: BKKBN minta masyarakat pentingkan prakonsepsi dibanding "pre-wedding"

Baca juga: BKKBN sebut tim pendamping keluarga bantu cegah stunting

Gencarkan pengelolaan informasi

Sadar wilayah Indonesia sangat luas dengan jutaan penduduk di dalamnya, BKKBN mulai melebarkan strategi mengumpulkan berbagai data-data kesehatan keluarga lewat Pendataan Keluarga 2021 (PK21) yang telah diluncurkan pada Kamis (4/11).

Hasto mengatakan, pendataan keluarga dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia dengan bantuan kader pendataan, terhitung sejak 1 April sampai dengan 31 Mei 2021. Namun, pandemi COVID-19 menyebabkan pihaknya melakukan perpanjangan waktu pendataan sampai dengan 6 Juli 2021.

Dari pengumpulan data itu, jumlah keluarga yang berhasil terdata sebanyak 68.478.139 keluarga atau sebesar 102 persen, dari jumlah yang sebelumnya ditargetkan yakni 66.828.571 keluarga, yang diperoleh melalui dua cara yaitu 30 persen melalui formulir F/1/PK/21 yang dilakukan di kecamatan dengan memanfaatkan balai penyuluhan, serta 70 persen dilakukan dengan memasukkan data melalui bantuan aplikasi pada ponsel oleh para kader.

Lewat PK21 itulah, Hasto dan jajarannya akan lebih jeli memetakan keluarga sasaran yang berisiko melahirkan anak dalam keadaan stunting, seperti keluarga sasaran dengan penapisan keluarga pra sejahtera, sanitasi, akses air bersih, rumah tidak layak huni dan pendidikan ibu yang rendah.

“Terkumpulnya data justru melebihi target yang ditetapkan. Ini dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk memetakan daerah di wilayahnya yang memiliki potensi stunting,” kata Hasto.

BKKBN juga mengembangkan aplikasi Elsimil untuk mempermudah mempertemukan calon pengantin maupun calon PUS dengan pendamping agar proses pendampingan menjadi lebih mudah.

Menurutnya, aplikasi Elsimil bekerja dengan mencatat seluruh informasi yang didapatkan dari hasil semua pemeriksaan kesehatan yang dilakukan ibu dan calon ibu sebelum hamil, seperti pemeriksaan anemia maupun kekurangan asupan nutrisi.

Nantinya, saat melakukan pendataan tersebut, bagi perempuan yang dinyatakan memiliki anemia, akan dikirimkan sebuah modul pemberitahuan untuk kembali ke fasilitas kesehatan untuk diberikan tablet darah yang akan dikonsumsi calon ibu selama 90 hari dan melakukan pemeriksaan kembali.

Sedangkan bagi perempuan yang terdeteksi mengalami kekurangan gizi, akan diberikan edukasi mengenai cara-cara untuk meningkatkan indeks massa tubuh supaya calon ibu dapat memenuhi syarat untuk hamil dan tidak melahirkan bayi dalam keadaan kekerdilan.

Melalui seluruh ikhtiar baik yang dibuatnya saat inilah, Hasto dan semua awak yang ditugaskan sangat berharap penanganan stunting pada tahun 2022 bisa dikerjakan secara lebih maksimal.

Kini, hanya tersisa 2,5 tahun lagi untuk mencapai angka 14 persen itu. BKKBN mengaku masih akan terus menggelorakan semangatnya wujudkan negara yang bebas stunting pada tahun 2024 dengan mengawal kesehatan keluarga menjadi lebih berkualitas.

Baca juga: Penanganan stunting menentukan masa depan bangsa

Baca juga: Baznas temukan kasus stunting di antara anak-anak terdampak Semeru

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021