“Dibutuhkan adanya implementasi transisi karena aturan ini diketuk palu di tengah masa pandemi. Jangan sampai perubahan regulasi yang sifatnya mendadak dipaksakan berlaku secara mendadak pula agar tidak berpotensi mendistorsi pendapatan daerah,” ujar Eduardo Edwin Ramda.
Ia mengemukakan rekomendasi tersebut saat menjadi narasumber dalam diskusi media secara virtual bertajuk “Otonomi Daerah pada Masa Pandemi COVID-19: Refleksi Akhir Tahun 2021”, dipantau dari Jakarta, Kamis.
Sebagai contohnya, kata Edwin, keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja yang mengubah nomenklatur atau penamaan dari izin mendirikan bangunan (IMB) menjadi persetujuan bangunan gedung (PBG) berpengaruh pada praktik pemungutan retribusi PBG di daerah.
“Faktanya hari ini, banyak daerah yang belum mengubah nomenklatur retribusi dari IMB menjadi PBG,” ucap Edwin.
Baca juga: Pajak hotel, restoran, hiburan hingga parkir digabung dalam UU HKPD
Kemudian, lanjutnya, ada surat edaran dari pemerintah yang menyatakan selama penamaan itu belum diubah, retribusi IMB atau PBG justru akan masuk ke kas negara. Jika hal itu terjadi, menurut Edwin, akan timbul polemik dan resistensi dari pemerintah daerah yang bermuara pada terdistorsinya potensi pendapatan daerah.
Melalui contoh tersebut, Edwin memandang implementasi UU HKPD membutuhkan masa transisi agar tidak memberikan efek distorsi terhadap keuangan pelaku usaha dan pendapatan asli daerah.
Di samping itu, Edwin juga menyarankan pemerintah pusat untuk mempertegas definisi dan kalkulasi opsen (tambahan pungutan) serta dana bagi hasil (DBH) secara jelas melalui sosialisasi dan simulasi terbuka, baik kepada pemerintah daerah maupun pelaku usaha atau masyarakat.
“Opsen ini harus clear dari sisi definisi dan kalkulasi dengan cara memberikan sosialisasi dan simulasi yang terbuka. Selain itu, perjelas juga maksud DBH,” ucap Edwin.
Baca juga: KPPOD imbau pemerintah pusat sosialisasikan UU HKPD secara sistematis
Menurutnya, sejauh ini, penafsiran opsen dalam UU HKPD, terutama terkait pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD), belum sepenuhnya jelas karena ketiadaan penjelasan formulasi tambahan pungutannya.
Terkait DBH, kata Edwin, UU HKPD belum menjelaskan lebih lanjut rincian sumber daya alam yang dapat dibagi hasilnya. Peraturan tersebut sebatas menyebut sawit sebagai sumber daya alam yang tergolong ke dalam DBH.
Menutup pemaparannya, Edwin juga merekomendasikan penetapan tarif pajak di level peraturan daerah melibatkan pelaku usaha dan masyarakat dalam diskusi sehingga tidak mencederai prinsip peningkatan ekosistem investasi di daerah.
“Terakhir adalah penyusunan regulasi fiskal daerah harus bersifat adaptif dan mampu menangkap tanda-tanda zaman,” ucap dia.
Baca juga: KPPOD apresiasi langkah pemerintah merevisi UU 28/2009 dan UU 33/2004
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021