asas pemerintahan yang baik seharusnya mengikuti hirarki perundang-undangan mulai dari UUD, UU, TAP MPRS, Perpu, PP hingga ke bawahnya
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan Gilbert Simanjuntak menilai langkah Gubernur DKI Anies Baswedan dalam merevisi Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI dari 0,85 persen menjadi 5,4 persen kurang tepat.
Pasalnya, Gilbert menyatakan bahwa UMP tersebut sejatinya adalah kebijakan dari pemerintah pusat yang ditetapkan Peraturan Pemerintah (PP) yang seharusnya dilaksanakan oleh Anies sebagai gubernur.
"UMP kan kebijakan pusat yang tentunya gubernur adalah pelaksana sesuai PP-nya, tapi kemudian gubernur menaikkan, seharusnya konsultasi dulu kan kita negara kesatuan bukan negara federal," kata Gilbert di Jakarta yang dikutip pada Kamis.
Menurut Gilbert, apa yang dilakukan Anies tidak tepat, karena akan kontra produktif dengan kebijakan pemerintah pusat.
"Kalau begitu sekalian saja tidak usah ada ketentuan dari menteri jika demikian, lalu sekarang (ada yang) mengatakan gubernur lain musti mengikuti, ini apa urusannya memangnya gubernur DKI lebih tinggi dari lainnya," ucap dia.
Lebih lanjut, Gilbert juga mengingatkan mengenai asas pemerintahan yang baik seharusnya mengikuti hirarki perundang-undangan mulai dari UUD, UU, TAP MPRS, Perpu, PP hingga ke bawahnya.
"Nah kemudian sekarang ini kan Pergub, kedudukan hirarkinya kan masih di bawah, seharusnya jadi pelaksana dong. Nah kemudian kalau Apindo itu mau menuntut class action itu secara hukum benar. Karena harusnya gubernur konsultasi dulu ke kementerian dan kemudian kedudukannya tripartit, pengusaha tidak diajak lalu pengusaha dituntut para karyawan, otomatis akan ada konflik horizontal," ujarnya.
Menurut Gilbert, langkah yang dilakukan Anies ini tak lebih dari akrobat politik yang membuat langkah apapun yang dilakukan pemerintah pusat akan menjadi pisau bermata dua, di mana ketika sepakat naik jadi 5,1 persen yang akan dapat "kredit poin" adalah Anies, pun demikian jika tidak diizinkan naik 5,1 persen.
"Ini kan sebenarnya permainan politik yang tidak sehat, harusnya sebagai negara kesatuan gubernur itu mengikuti," ujarnya.
Sebelumnya, Gubernur DKI Anies Baswedan merevisi penetapan UMP 2022 di Jakarta yang naik 5,1 persen atau sebesar Rp225.667 menjadi Rp4.641.854 pada Sabtu (18/12).
Angka itu merevisi Keputusan Gubernur (Kepgub) DKI Nomor 1395 tahun 2021 tentang UMP 2022 pada 21 November 2021 dengan penyesuaian sebelumnya sebesar 0,8 persen atau sebesar Rp37.749 menjadi Rp4.493.724.
Gubernur DKI Anies Baswedan beralasan revisi tersebut berdasarkan kajian Bank Indonesia yang memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 mencapai 4,7 persen sampai dengan 5,5 persen.
Kemudian inflasi diproyeksi akan terkendali sebesar 3 persen atau berada pada rentang 2 hingga 4 persen.
Begitu juga kajian Institute For Development of Economics and Finance (Indef) yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 sebesar 4,3 persen menjadi pertimbangan.
Namun demikian, jika mengacu kepada PP 36 tahun 2021 tentang Pengupahan, mengatur formula penyesuaian UMP dengan menggunakan inflasi atau nilai pertumbuhan ekonomi provinsi berdasarkan data lembaga berwenang bidang statistik.
Sementara itu, untuk revisi UMP 2022 yang naik 5,1 persen hingga saat ini Gubernur DKI belum menerbitkan Keputusan Gubernur, sesuai dengan pasal 29 dalam PP 36 tahun 2021 yang mewajibkan UMP ditetapkan melalui Kepgub.
Sedangkan, pada pasal 4 dalam PP 36/2021 juga disebutkan pemerintah daerah dalam melaksanakan kebijakan pengupahan wajib berpedoman pada kebijakan pemerintah pusat.
Baca juga: DPRD DKI harap UMP naik 5,1 persen beri sentimen positif perekonomian
Baca juga: DPRD DKI akan panggil Dinas Tenaga Kerja soal UMP 2022
Baca juga: Wagub DKI akui revisi UMP belum sesuai regulasi pengupahan
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2021