Yogyakarta (ANTARA News) - Keberhasilan reformasi birokrasi di Indonesia sangat tergantung pemimpin yang sedang berkuasa, kata pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Anggito Abimanyu.
"Dengan kata lain sebagus apa pun sistem yang diterapkan tetap saja bergantung kepada siapa pejabat yang memimpin instansi tersebut," kata Anggito pada peluncuran buku karyanya berjudul "Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal" di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, reformasi birokrasi di bawah kepemimpinan yang jujur, tegas, dan visioner merupakan syarat penting dalam mengubah cara pikir birokrat.
"Namun yang sering mengganggu adalah budaya `ewuh pakewuh` dan `comfort zone`. Hal itu menyebabkan sumber daya manusia yang berani mengambil keputusan dan visioner harus tersingkir atau dimutasi," katanya.
Ia mengatakan, trauma masa lalu seperti BLBI dan krisis serta agresivitas pengawas seperti KPK, BPK, dan kejaksaan mengakibatkan kelambatan dalam pengambilan keputusan.
"Khusus reformasi perpajakan perlu terus ditingkatkan. Munculnya beberapa masalah, seperti kasus mafia pajak dan Gayus Tambunan membuat kebutuhan untuk meneruskan reformasi perpajakan menjadi isu penting," katanya.
Selain itu, tantangan terbesar untuk mengembalikan reputasi dan kepercayaan masyarakat kepada institusi perpajakan juga masih belum terpenuhi.
"Dalam menarik pajak, perlu dipertimbangkan beberapa hal agar sesuai dengan tujuan lain, yakni tetap mendorong investasi," kata mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan itu.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Edy Suandi Hamid mengatakan, tulisan Anggito baik ketika masih berada di lingkaran birokrasi maupun di kampus tetap konsisten dilakukan secara santun.
"Tulisan Anggito tidak menggurui dan santun. Dalam tulisannya Anggito tidak takut berseberangan dengan pendapat ekonom lain," katanya.(*)
(L.B015*H010/E005)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011