Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menilai peringatan Hari Ibu yang diperingati tanggal 22 Desember merupakan momentum meningkatkan perjuangan pemenuhan hak-hak perempuan Indonesia.
Dia menilai, kaum perempuan bukan sekadar pelengkap dan disubordinasi, serta tidak untuk dikooptasi.
"Setiap perempuan memiliki hak yang sama sebagai manusia. Bahkan, gerakan perempuan Indonesia merupakan bagian dari upaya mewujudkan kemerdekaan Indonesia," kata Lestari Moerdijat dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Hal itu dikatakannya saat diskusi virtual bertema "Perempuan Indonesia: Kepemimpinan, Kesetaraan dan Kiprah Membangun Bangsa" yang merupakan bagian acara peluncuran buku "21 Wanita Perkasa yang Ditempa oleh Budaya Aceh", yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 bersama Yayasan Sukma dan Universitas Syiah Kuala Aceh, Rabu.
Menurut Lestari, peringatan Hari Ibu Nasional setiap 22 Desember itu berbeda dengan "Mothers Day" yang dirayakan di dunia Barat.
Dia mengatakan, peringatan Hari Ibu di Indonesia, lahir dari digelarnya Kongres Perempuan Indonesia II pada 1930 yang di dalam kongres tersebut membahas hak-hak perempuan di berbagai bidang.
Baca juga: KSP: Perempuan harus jadi subjek yang berdaya
Baca juga: Peringatan Hari Ibu Komnas Perempuan serukan RUU TPKS segera disahkan
Baca juga: Kisah pilot perempuan mandiri yang sukses berkat ibu
"Padahal sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara masa lalu, sudah banyak perempuan mengambil peran sebagai garda terdepan dalam perjuangan," ujarnya.
Lestari mengatakan, para tokoh perempuan di masa itu juga terlibat dalam pengelolaan negara, pertahanan, perdagangan dan sejumlah bidang sosial kemasyarakatan.
Dia mengakui, di era reformasi merupakan masa yang kondusif bagi gerakan perempuan Indonesia karena cukup banyak ruang yang dibuka untuk mengangkat berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan saat ini.
Namun dia menilai masih banyak "pekerjaan rumah" terkait perempuan yang harus segera dituntaskan agar hak-hak perempuan bisa terpenuhi antara lain pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU-TPKS) yang hingga saat ini masih menghadapi banyak tantangan.
"Padahal RUU-TPKS sangat diharapkan untuk segera menjadi undang-undang agar perlindungan dan pencegahan dari tindak kekerasan seksual yang kerap mengancam perempuan, bisa segera direalisasikan," katanya.
Pengamat militer dan pertahanan-keamanan Connie Rahakundini Bakrie menilai jika kembali kepada nasionalisme perempuan di masa lalu, sudah terbukti banyak perempuan berperan aktif dalam skala yang lebih luas di berbagai bidang.
Menurut dia, sejak abad ke-7 perempuan Aceh sudah sangat menonjol perannya di Nusantara, karena masyarakat Aceh menganut budaya matriarki.
"Sejarah Aceh juga melahirkan sejumlah negarawan perempuan. Sikap digdayanya perempuan Aceh itu juga karena ajaran Islam yang kuat," ujarnya.
Dia menilai mulai terpinggirkannya peran perempuan di Aceh terjadi setelah perang kemerdekaan Indonesia karena pengaruh budaya Arab yang cenderung mengesampingkan peran perempuan dalam keseharian.
Diskusi tersebut juga menghadirkan narasumber antara lain penulis buku "21 Wanita Perkasa yang Ditempa oleh Budaya Aceh" Qismullah Yusuf, Peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Titi Surti Nastiti, akademisi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh Asna Husin, dan Akademisi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Ahmad Humam Hamid.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021