Sydney (ANTARA News) - Pejabat tinggi dari enam negara Asia-Pasifik, Rabu, mulai membahas cara menanggulangi perubahan cuaca dan pada saat yang sama mempertahankan pembangunan ekonomi. Pengembangan teknologi energi yang lebih bersih diperkirakan menjadi pusat perhatian pertemuan dua hari Kemitraan Asia Pasifik mengenai Cuaca dan Pembangunan yang Bersih, yang berlangsung di Sydney, kota terbesar di Australia. Kemitraan tersebut juga akan mengandalkan dukungan swasta untuk mengembangkan dan mengirim teknologi seperti energi terbarui dan batu bara bersih, melalui pertemuan para pejabat dari beberapa perusahaan energi utama di dunia, Rabu sore waktu setempat. Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer, Menteri Industri Ian Macfarlane dan Menteri Lingkungan Hidup Ian Campbell termasuk di antara pejabat tinggi yang hadir bersama timpalan mereka dari Cina, India, Jepang, Republik Korea dan Amerika Serikat. Keenam negara itu mewakili hampir separuh dari konsumsi energi, buangan gas rumah kaca dan penduduk dan GDP dunia. Kemitraan tersebut dipertemukan oleh Australia dan Amerika Serikat, dua negara maju yang menolak bergabung dengan 35 negara lain untuk menandatangani Protocol Kyoto mengenai perubahan cuaca yang akan mengikat komitmen mereka pada sasaran yang mengikat secara hukum guna mengurangi buangan gas. Kemitraan itu telah menyatakan kemitraan tersebut berpegang pada gagasan mengenai "persetujuan yang tak mengikat" yang akan "melengkapi", tapi bukan menggantikan, Protocol Kyoto. Australia dan Amerika Serikat menyatakan jika mereka bergabung dengan Protocol Kyoto, tindakan itu akan memperlambat ekonomi mereka. Keenam negara tersebut telah menyatakan takkan mendukung sasaran tertentu untuk mengurangi buangan dari bahan bakar fosil, dan beberapa pengulas menduga resolusi yang akan dihasilkan akan bersifat buram. Beberapa sumber pemerintah sebelumnya mengatakan kemitraan itu berencana menciptakan dana guna membantu mengembangkan teknologi energi bersih, yang akan dimulai oleh Australia dengan dana 75 juta dolar AS. Banyak pengeritik telah mencap kemitraan tersebut, yang bertemu dari Rabu di Sydney, tak lebih dari upaya untuk melayani kebutuhan negara industri. "Sebagaimana dapat diperkirakan dari suatu kesepakatan antara enam eksportir terbesar batubara di dunia dan pemakainya, ini tampaknya akan menjadi persetujuan untuk tak berbuat apa-apa," kata wanita jurubicara Greenpeace Catherine Fitzpatrick akhir pekan lalu. Banyak pengulas dan kelompok pecinta lingkungan hidup meramalkan teknologi batubara bersih, yang menggunakan bermacam metode guna mengurangi buangan karbon dioksida dan gas lain yang berbahaya bagi atmosfir, akan menjadi perhatian utama kemitraan itu. Empat dari keenam anggotanya sangat bergantung atas batu bara guna memenuhi kebutuhan energinya, dan Lembaga Tenaga Atom Internasional (IAEA) memperkirakan terjadi peningkatan 43 persen penggunaan batubara global dari 2000 sampai 2020. Australia, misalnya, memperoleh sebagian besar listriknya dari stasiun pembangkit listrik bertenaga batu bara. Australia dan Amerika Serikat menyatakan teknologi bersih merupakan "pendekatan lebih baik dibandingkan dengan menetapkan sasaran guna mengekang buangan gas" yang dituding banyak ilmuwan sebagai penyebab naiknya temperatur global. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006