Jakarta (ANTARA) - Sudah genap menanti setahun, namun, Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi belum juga ketuk palu menjadi regulasi yang sah untuk mengatur arus data di Indonesia.

Penantian Indonesia untuk beleid ini sudah sangat lama, rencana sudah bergulir sejak 2012, menemukan titik terang pada Desember 2019 ketika mulai dibahas pemerintah bersama parlemen.

Regulasi ini semula dijadwalkan bisa selesai pada November 2020 lalu, namun, terpaksa tertunda akibat pandemi virus corona.

RUU ini kemudian menjadi salah satu Program Legislasi Nasional (Prolegnas) untuk tahun ini, sayangnya, pembahasan RUU PDP pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Dewan Perwakilan Rakyat berlangsung cukup alot.

Pemerintah dan DPR belum menemukan kata sepakat untuk lembaga yang akan emnjadi regulator perlindungan data pribadi. Komisi I DPR mengusulkan membentuk lembaga independen, sementara Kominfo menilai lembaga berada di bawah kementerian tersebut.

Melihat perkembangan terakhir, hampir tidak mungkin RUU PDP selesai tahun ini. Informasi per awal Desember, masih ada 228 daftar inventarisasi masalah (DIM) yang belum dibahas pemerintah dan DPR, dari total 371 DIM.

RUU PDP kini masuk daftar Prolegnas Prioritas 2022 bersama 39 rancangan undang-undang lainnya.

Pembahasan RUU PDP bergulir ketika teknologi dan internet sedang marak-maraknya digunakan, pandemi memaksa masyarakat lebih aktif di dunia maya supaya bisa melakukan aktivitas dari jarak jauh.

Setahun lebih mengakrabi internet, semakin terasa mengapa undang-undang ini penting untuk segera disahkan.

Aktivitas dalam jaringan yang paling terasa selama pandemi ini, semakin banyak orang yang berbelanja lewat aplikasi lokapasar. Riset yang dilakukan iPrice pada kuartal III 2021, Tokopedia mengantongi 392,13 juta pengujung per bulan, sementara Shopee 961,51 juta, gabungan dari pengunjung di website maupun aplikasi.

Perlu disadari, ada banyak data pribadi yang diperlukan ketika berbelanja online. Konsumen minimal harus memberikan nama lengkap, nomor ponsel dan alamat rumah.

Ketika bertransaksi di aplikasi lokapasar, berapa pun nilainya, ada aliran data di sana. Data yang berada di aplikasi pasar online mungkin akan diperlukan oleh penyedia layanan pembayaran untuk verifikasi.

Setelah transaksi terverifikasi, jasa pengantaran barang memerlukan data tersebut supaya bisa mengirimkan paket ke alamat tujuan yang tepat.

Analogi aliran data ini baru terjadi pada satu lokapasar. Tentu, semakin banyak aplikasi yang digunakan, akan semakin banyak juga data yang beredar.

Ketika disahkan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi akan memberikan aturan main yang jelas dan mengikat tentang pengumpulan, penyimpanan dan pengelolaan data.

Saat ini pengelolaan data pribadi masih dikelola secara sektoral, masing-masing sektor memiliki regulasi untuk data pribadi sesuai dengan bidangnya. Sebagai contoh, data pribadi di lingkup teknologi informasi dan komunikasi antara lain mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 71 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Sementara pada sektor keuangan, diatur oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.

RUU Pelindungan Data Pribadi akan mencakup semua pihak yang mengumpulkan, menyimpan dan mengelola data, termasuk di dalamnya individu yang memiliki data.

Menurut rencana, RUU PDP ini akan memuat sanksi administratif dan pidana untuk pelanggaran terhadap perlindungan data pribadi. Kebutuhan memiliki regulasi ini menjadi sangat mendesak jika melihat setahun ke belakang, banyak kasus pelanggaran data pribadi seperti menyebarkan data orang lain dan kebocoran data.

Baca juga: Kominfo fokuskan sosialisasi pada masyarakat sambil rampungkan RUU PDP

Baca juga: Peneliti BRIN dorong pengesahan RUU PDP untuk lindungi aktivis siber

Baca juga: Indef: UU PDP dapat optimalkan potensi ekonomi digital

Halaman Selanjutnya: Nasib ekonomi digital

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021