Jangan sampai kerja sosial justru menimbulkan permasalahan baru.

Jakarta (ANTARA) - Hukuman kerja sosial yang terdapat dalam RUU KUHP kemungkinan sulit diterapkan di Indonesia karena adanya kendala pada kesiapan dan aturan teknisnya, kata kriminolog Universitas Indonesia Ni Made Martini Puteri.

Dalam paparannya yang disampaikan pada acara diskusi virtual di Jakarta, Selasa, Martini Puteri menerangkan kerja sosial membutuhkan setidaknya kesiapan pada studi awal/asesmen pada kondisi terpidana dan komunitas; pemantauan, pelaporan, dan pencatatan; evaluasi pada pengawas dan lembaga; serta kesiapan sumber daya yang profesional.

"Ketika bicara kerja sosial, mau tidak mau bicara proses yang tidak sederhana. Sebelum keputusan diambil, pertama harus ada asesmen," katanya menerangkan.

Namun, dia mempertanyakan bagaimana asesmen ini diatur nantinya dalam RUU KUHP.

Masalahnya, pasal-pasal pada RUU KUHP belum mengatur soal asesmen itu sehingga kemungkinannya ke depan hakim akan memutuskan pidana kerja sosial tanpa ada studi pendahuluan.

"Dari penelitian saya, kemampuan hakim dalam mempertimbangkan sejumlah aspek dalam kasus-kasus pelanggaran terbatas. Bisa dibayangkan jika ditambahi kerja sosial, sementara kemampuan mengolah informasi terbatas," kata Martini Puteri.

Jika problem itu tidak dipikirkan, kemungkinan ke depan kerja sosial akan tetap jadi opsi penghukuman tetapi tidak dapat dilaksanakan karena tidak ada dukungan fasilitas dan sumber daya manusia yang memadai.

Kemungkinan lainnya, kerja sosial jadi semacam panasea—kondisi ketika majelis hakim menetapkan hukuman kerja sosial pada tiap terpidana tanpa mempertimbangkan kondisi pelaku, komunitas, dan efektivitasnya.

Oleh karena itu, Martini Puteri mendorong pemerintah melakukan lebih banyak kajian terkait dengan hukuman pidana kerja sosial dan efektivitasnya. Pasalnya, penerapan kerja sosial membutuhkan anggaran yang cukup besar, terutama pada pengawasan, pelaporan, dan sumber daya profesional.

"Jangan sampai kerja sosial justru menimbulkan permasalahan baru," kata dia.

Martini Puteri juga menyampaikan pemberlakuan kerja sosial tanpa petunjuk pelaksana dapat merugikan kelompok rentan, antara lain perempuan, anak-anak, masyarakat miskin, dan penyandang disabilitas.

Tidak hanya itu, dia juga mendorong pemerintah memperbaiki sistem pencatatan kejahatan yang merujuk pada standar internasional, yaitu ICCS (International Classification of Crime for Statistical Purpose).

Ia berharap Pemerintah dapat mempersiapkan Balai Permasyarakatan (Bapas), sebagai pelaksana nantinya, kemudian kejaksaan sebagai pengawas, serta mengatur mekanisme anggaran yang berbasis pada kegiatan bukan pada tahun anggaran.

Baca juga: Ahli hukum: RUU KUHP berpotensi bantu atasi "overcrowding" lapas

Baca juga: Hakim MK dorong finalisasi RUU KUHP

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021