Jakarta (ANTARA News) - Murkakah alam? Hari-hari belakangan ini, berlaksa dan bertubi-tubi peristiwa keganjilan dan bencana alam seakan enggan enyah dari mewarnai corak kehidupan di muka bumi ini, dengan seonggok konsekuensi yang menyisakan kepiluan dan kenestapaan.

Manakala tataran fungsi ekologis alam masih berotasi dalam kondisi homeostasi yang tak terusik, maka “kelentingan” (resiliensi) ekologi alam kiranya juga akan dengan segera kembali pulih memposisikan pendulumnya pada ranah kestabilan, pada saat hamparan ekologis diterjang anomali alam yang berbuntut bencana.

Anasir Ekosistem
Komponen abiotik yang menjadi penopang struktur ekologi berupa tanah, air, dan udara. Sedangkan komponen biotiknya mencakup makro-mikro flora dan fauna. Individu komponen biotik berkumpul membentuk suatu populasi dengan berbagai level umur.

Selanjutnya menyusun serangkaian komunitas. Beberapa komunitas bergabung dalam sebuah hamparan ekosistem dengan kespesifikannya. Anasir (unsur) ekosistem akan melakoni peran ekologis dengan berinteraksi satu sama lain dalam pola sinergitik ataupun antagonistik.

Berjalannya fungsi ekologis dimungkinkan dengan lengkapnya siklus hidup populasi. Antar populasi terjadi proses makan-memakan yang tergabung dalam suatu rantai makanan (food chain) tertentu. Anggota suatu rantai makanan tak tergantikan oleh komponen lain dalam rantai makanan lain.

Sebutlah ketiadaan sapi atau rusa, yang menjadi mangsa sang raja rimba (harimau), tak bisa digantikan oleh anjing (sebagai hewan yang dimangsa). Rantai makanan bermula dari produsen primer, produsen sekunder, konsumer, predator, top predator, dekomposer, dsb. Kompleksitas dari berbagai rantai makanan dalam suatu ekosistem selanjutnya dilukiskan dalam suatu jala makanan (food web).

Alam yang tak terusik atau yang dikelola dengan seksama akan dapat menyokong semua proses ekologis dengan mantap, bermuara pada terciptanya kesetimbangan ekologis mapan, diistilahkan homeostasi. Dalam kondisi homeostasi, ekosistem mampu menopang daya dukung secara optimum dengan terwadahinya anasir-anasir ekosistem secara optimum pula. Juga mampu berperan sebagai daya tampung yang memiliki kemampuan asimilasi dan netralisir yang baik, jika terdapat eksternalitas yang tumpah dalam ekosistem secara tak terkendali.

Seumpama terjadi masukan eksternalitas yang melebihi kemampuan daya tampung ekosistem, maka akan terjadilah peculiar (keanehan) dalam ekosistem. Keganjilan ini terkadang bisa terdeteksi dengan adanya respon seketika (instant) dari anasir ekologis dengan mekanisme penghindaran, terutama bagi makhluk yang mobil (bergerak).

Namun, bagi makhluk yang sessile (menetap) bisa mengalami kondisi fatalitas (akut) berupa kematian (lethal). Respon lainnya berupa respon lambat (kronik) yang diwujudkan dengan indikator termodifikasinya morfologi, fisiologi, atau terganggunya proses produksi. Mengingat respon kronik ini biasanya berdurasi lama, maka konsekuensinya akan terendus setelah beberapa selang waktu, sehingga sering luput dari tangkapan perhatian.

Man-Made Disaster dan Natural Disaster
Meningkatnya eksternalitas yang masuk dalam hamparan ekosistem dan menyebabkan tidak berjalannya dengan baik fungsi ekosistem inilah yang kadangkala dianalogikan dengan terminologi pencemaran. Pada kondisi ekstrim bisa berujung pada munculnya bencana. Tipe bencana demikian bermuasal dari ulah manusia (man-made or technological disaster).

Bencana akibat ulah manusia meliputi: kelalaian, ketamakan (greedy), kegagalan teknologi, dsb, sejatinya adalah eksternalitas yang dapat dikendalikan baik kuantitas maupun kualitasnya. Konsekuensi dari keberadaan eksternalitas seyogyanya dapat dicegah, diminimalisasi, atau direhabilitasi. Melalui pendekatan analisis risiko, eksternalitas dapat diprediksi jenis, jumlah, frekuensi, lokasi, dan daya merusak (toksisitas). Malahan sebaran dan durasi dampak dalam dimensi ruang dan waktu, pun juga dapat diprakirakan melalui pemodelan.

Terkait dengan masalah kebencanaan, UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mencantumkan analisis risiko lingkungan (pasal 14), sebagai sebuah ketetapan hukum yang mesti dipatuhi. Dalam analisis risiko lingkungan ditelaah karakteristik, perilaku, dan sebaran dampak dari suatu kegiatan terhadap lingkungan dan mitigasinya, serta dampak suatu kejadian (fenomena) lingkungan terhadap kegiatan.

Sebaliknya, bencana alam bersifat given, menjadi otoritas Sang Khalik. Tak ada yang dapat memprediksi kapan terjadinya? Beraneka rupa anomali alam seperti pasang tinggi, gempa, tsunami, gunung meletus, dsb belakangan ini semakin kerap singgah di kuping kita, tidak hanya dalam bentuk warta, namun terkadang juga hadir di tengah hiruk pikuk keseharian sebagai sebuah katastrope, yang mendera jengkal demi jengkal wilayah Nusantara.

Untuk menghadapi bencana alam seperti: tsunami, gempa, gunung meletus, munsoon, gelombang tinggi, badai, gerakan tanah (landslide) dan lainnya, tak banyak yang bisa diperbuat manusia untuk mencegah gejala murka alam tersebut. Mengantisipasi, merespon, dan merehabilitasi pasca terjadinya gejala alam menjadi satu-satunya pilihan.
Penanggulangan Bencana

Sebutlah bencana gempa yang dibarengi gelombang tsunami di pantai timur Jepang (11 Maret 2011) berkekuatan 8,9 skala Richter, melukiskan betapa dahsyatnya murka alam, memporakporandakan segala infrastruktur yang ada dan meluluhlantakan segenap sendi perekonomian.

Namun adanya kesiapsiagaan dan resiliensi bangsa Jepang yang memang sudah terbiasa dengan gempa, membuat bangsa ini kokoh, tidak meratap, nelangsa, dan tak berurai air mata. Jendela media massa Jepang kiranya tak sudi memamerkan “kecengengan” bangsanya terhadap bencana dan “gelimpangan” korban jiwa. Kecepatan tanggap darurat, rehabilitasi, tekad masyarakat untuk bangkit dari bencana, inilah yang justru dipertontonkan.

Ketangguhan suatu bangsa menghadapi bencana adalah manifestasi dari bagusnya sistem penanggulangan bencana. Bangsa Jepang memang sudah terbiasa dengan kejadian gempa, sehingga secara tradisional dan institusional relatif sudah siap.

Walaupun negara kita secara geologi terpapar pada “cincin api” (ring of fire) yang membentang di sepanjang pantai barat Sumatra hingga pantai selatan Jawa, Nusa Tenggara, dan berbelok ke utara di Maluku, kiranya belum memformulasikan sistem penanggulangan bencana yang komprehensif, sebelum kejadian gempa dan tsunami di Aceh pada penghujung tahun 2004 silam (26 Desember) berkekuatan 8,5 skala Richter.

Tsunami Aceh menjadi momentum penstimulir berseminya UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan PP No 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, PP No 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, dan PP No 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana.

Penanggulangan bencana dilaksanakan secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak bencana. Dalam pengelolaan bencana diintroduksi beberapa tahapan penanggulangan mencakup: pencegahan (prevention), kesiapsiagaan (preparedness), tanggap darurat (emergency response), mitigasi dan pemulihan (rehabilitation) (BNPB, 2011).

Sistem penanggulangan bencana mengelaborasi kegiatan yang harus dilakukan ketika tidak terjadi bencana dan ketika ada potensi bencana. Perencanaan penanggulangan bencana mesti difomulasikan ketika tidak terjadi bencana. Pada situasi terdapat potensi bencana maka hal-hal yang terkait dengan kesiapsiagaan, peringatan dini (early warning), dan mitigasi bencana, harus lebih diintensifkan implementasinya (BNPB, 2011).

Salah satu luaran dari kesiapsiagaan adalah berupa adanya rencana kontinjensi (contingency plan), sehingga ketika bencana terjadi, rencana kontinjensi bermetamorfose menjadi Rencana Operasi Tanggap Darurat (BNPB, 2011). Dengan adanya sistem penanggulangan bencana ini, diharapkan penanganan bencana tidak lagi sporadis, melainkan akan lebih terstruktur dan terukur luarannya.
(***)


*) Sekretaris Eksekutif PPLH, IPB

Oleh Hefni Effendi *)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011