“Tuan-tuan akan dibawa ke Muntok. Dekat Muntok ada Gunung Menumbing. Di situ ada sebuah pesanggrahan kepunyaan Tambang Timah dan tuan-tuan akan ditempatkan sementara di situ,” kata kontrolir Belanda yang menjemput Mohammad Hatta dan tiga lainnya itu.
Begitu Bung Hatta, proklamator yang juga Wakil Presiden pertama Indonesia, menulis dalam buku otobiografinya Untuk Negeriku bagian ketiga “Menuju Gerbang Kemerdekaan”.
Setelah jatuhnya Yogyakarta, yang merupakan ibu kota Indonesia, setelah pindah dari Jakarta, Bung Hatta dan kawan-kawan ditawan oleh Belanda dan diasingkan ke Pulau Bangka.
Belanda mengasingkan Mohammad Hatta, Mr A Gafar Pringgodigdo, Mr As'at, dan Komodor Suryadarma di Pesanggrahan Menumbing pada 22 Desember 1948. Lalu disusul Mr Ali Sastroamidjoyo dan Mr Mohammad Roem pada 31 Desember 1948.
Dalam otobiografinya, Hatta menulis gedung peristirahatan itu bertingkat dua. Pada tingkat pertama terdapat ruang duduk, sebelah kiri bersambung dengan sebuah kamar tidur dan kamar mandi, di sebelah kanan bersambung pula dengan sebuah kamar tidur tetapi tidak ada kamar mandinya. Di luar gedung itu, terdapat bungalow yang belum selesai dicat.
Kini 73 tahun kemudian, Pesanggrahan Menumbing yang dibangun oleh perusahaan timah Belanda Banka Tin Winning (BTW) tidak banyak berubah. Gedung yang terletak 500 kaki dari permukaan laut itu merupakan saksi perjuangan pengakuan kedaulatan Indonesia melalui jalur diplomasi.
Baca juga: Pesanggrahan Menumbing Bangka Barat mulai dipadati wisatawan
Gedung berada di puncak bukit tersebut masih berdiri kokoh dan masuk dalam kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Menumbing. Dari pesanggrahan itu dapat memandang Muntok dari segala arah dan tentu saja Selat Bangka yang memisahkan Pulau Bangka dan Pulau Sumatra.
Berbicara mengenai Pesanggrahan Menumbing adalah bicara mengenai Hatta dan pemikirannya. Gagasan saat diasingkan di Bangka itulah, menjadi dasar pemikiran untuk dibawa ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang merupakan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda.
Pesanggrahan Menumbing, melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM. 13/PW007/MKP/2010 ditetapkan sebagai cagar budaya peringkat nasional, berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 210/M/2015.
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi, Agus Widiatmoko, mengatakan pihaknya melakukan penataan ruang tata pamer untuk menarik minat generasi muda dan masyarakat untuk mengetahui arti penting Pesanggrahan Menumbing bagi pengakuan kedaulatan Indonesia.
“Penataan ruang tata pamer ini, merupakan tahap awal dari upaya revitalisasi yang kami lakukan,” kata dia.
Di Muntok yang saat ini berada di Kabupaten Bangka Barat, terdapat dua bangunan cagar budaya yang memiliki sejarah penting bagi bangsa, yakni Pesanggrahan Menumbing dan Pesanggrahan Muntok. Jika Pesanggrahan Menumbing adalah berbicara mengenai Bung Hatta, maka Pesanggrahan Muntok adalah berbicara mengenai Bung Karno.
Bung Karno bersama Haji Agus Salim diasingkan di Pesanggrahan Muntok setelah diasingkan di Prapat, Sumatera Utara.
Baca juga: Dari Menumbing menuju Den Hag, sebuah perjalanan pengakuan kedaulatan
Agus menjelaskan untuk tahap awal, pihaknya melakukan penataan ruang tata pamer di Pesanggrahan Menumbing. Rencananya pada 2022, penataan ruang tata pamer serupa akan dilakukan di Pesanggrahan Muntok.
“Anggaran yang dialokasikan untuk penataan ruang tata pamer di Pesanggrahan Menumbing mencapai Rp2 miliar. Penataan ini penting, untuk meluruskan narasi sejarah. Ke depan, tidak hanya tata pamer tetapi bagaimana dinamika masyarakat saat itu dalam mendukung tokoh bangsa yang diasingkan di Pulau Bangka ini,” kata dia.
Penataan ruang pamer di Pesanggrahan Menumbing mengangkat tema mengenai Cahaya Kebangsaan.
Direktur Eksekutif Komunitas Luar Kotak, Andre Donas, yang menangani penataan ruang pamer itu, mengatakan tema tersebut dipilih karena sesuai dengan kepribadian dari Bung Hatta.
“Cahaya Kebangsaan dipilih karena mewakili Bung Hatta. Tempat yang jauh dan terpencil, sesuai dengan kepribadian Bung Hatta yang introvert, suka menghabiskan waktu dengan buku, tidak suka ketemu dengan orang banyak, dan juga penuh dengan ide serta gagasan,” kata dia.
Ruang pamer ditata ulang, tidak lagi menampilkan foto-foto dan artefak. Dalam ruang pamer yang baru tersebut ditampilkan potret para tokoh bangsa yang diasingkan di Pulau Bangka, mosaik Bung Hatta, mobil Ford dengan plat BN 10 yang digunakan para tokoh bangsa saat dalam pengasingan, juga siluet tokoh bangsa beserta dengan narasi yang menggambarkan kepribadiannya.
Berbeda dengan museum pada umumnya yang monoton, ruang pamer di Pesanggrahan Menumbing lebih interaktif dan bermain dengan tata cahaya. Di ruang utama, ditampilkan patung Bung Karno dan Bung Hatta dengan latar belakang efek multimedia yang berisi kutipan dari para tokoh bangsa.
Baca juga: Bangka Barat usulkan mobil operasional Hatta sebagai cagar budaya
Pengunjung juga diajak untuk belajar sambil bermain, melalui gamifikasi sejarah pengasingan tokoh bangsa di Bangka. Ruang pamer tersebut lebih gelap dari museum pada umumnya, untuk mengoptimalkan pengalaman pengunjung saat berkunjung ke tempat itu.
“Kami mau mengajak orang bukan mengetahui apa yang terjadi di masa lalu. Akan tetapi bisa mengalami sendiri, merasakan sendiri, sesuai dengan apa yang mereka inginkan,” terang Andre.
Menurut dia, hal yang terpenting dalam tata pamer saat ini bukanlah benda-benda yang dipajang. Akan tetapi pada narasi apa yang dibangun dan berorientasi pada pengunjung.
“Benda hanya dipakai untuk membangun cerita apa yang ingin disampaikan pada pengunjung,” ujar dia.
Pesanggrahan Menumbing tidak sekadar tempat pengasingan, tetapi lebih dari itu tempat itu memiliki makna yang sangat penting bagi kedaulatan Republik Indonesia.
Tidak hanya pada masa lalu, akan tetapi juga saat ini.
Baca juga: Mensos lepasliarkan satwa langka di Tahura Menumbing Bangka Barat
Baca juga: Objek wisata di Bangka Barat ditutup sementara, cegah COVID-19
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021