Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Luqman Hakim menilai peluang kecurangan dalam rekapitulasi surat suara dengan menggunakan sistem manual berjenjang yang sudah berjalan hingga saat ini kecil.
Dia menilai, pada setiap jenjang rekapitulasi, diberi kesempatan kepada seluruh partai politik, pasangan calon presiden/wakil presiden dan seluruh calon anggota DPD untuk mengutus saksi agar dapat mengawasi.
"Selain itu, proses rekapitulasi di setiap jenjang juga diawasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan dibuka juga kesempatan pemantau independen untuk ikut mengawasi," kata Luqman di Jakarta, Selasa.
Namun dia menilai kecurangan hanya bisa terjadi apabila semua pihak yang terlibat seperti petugas KPU, Bawaslu, saksi partai-partai, saksi capres/cawapres, saksi calon DPD, bersekongkol untuk curang.
Baca juga: DPR RI tampung aspirasi revisi UU Pemilu
Baca juga: Anggota DPR: Tak ada payung hukum penggunaan "e-voting" pada pemilu
Baca juga: Anggota DPR sarankan penambahan jumlah pengawas di tiap TPS
Dia mengakui memang masih ada terjadi kecurangan, tapi sangat terbatas yaitu di sedikit daerah yang dikuasai secara mutlak oleh satu kekuatan politik atau oleh kekuatan tertentu yang mampu mempengaruhi semua pihak dalam rekapitulasi suara hasil pemilu.
"Ke depan, semakin langka ada daerah yang masih dikuasai kekuatan 'mafioso politik' yang bisa merekayasa hasil pemilu. Apabila masih ada daerah seperti itu, maka pelibatan TNI, Polri dan Pemantau Independen akan sangat berguna menjaga para pemangku kepentingan pemilu dari berbagai bentuk intimidasi," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua KPU RI Ilham Saputra menilai penggunaan sistem pemilihan elektronik atau "e-voting" belum diperlukan untuk Pemilu 2024.
Dia menilai potensi kecurangan dan manipulasi pada pemilu di Indonesia berada di tahap rekapitulasi surat suara. Karena itu menurut dia, hal yang perlu menjadi perhatian bukan tahap pemungutan suara namun saat rekapitulasi surat suara.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021