Jakarta (ANTARA News) - "Sebagai wartawan olahraga, apa komentar Bapak menyaksikan sinetron Kongres PSSI yang disiarkan televisi Jumat malam?" tanya seorang teman.
Penulis sempat terperangah, apakah pertanyaan itu menyangkut kejadian di kongres atau peran wartawan dalam kegalauan organisasi olahraga tertua di Indonesia itu. Ini tentu dua hal berbeda, tetapi intinya sama, yaitu tentang amanah dan kredibilitas pejabat publik dan etika profesi di ruang umum.
Kongres PSSI yang agendanya untuk memilih ketua umum, wakil ketua umum dan anggota komite eksekutif di Hotel Sultan itu akhirnya beralur seperti sinetron yang di zaman edan ini "enak" ditonton kendati tidak dibumbui dengan adu jotos.
"Ya ampun..Ya Robbi..," kata Ketua Normalisasi PSSI Agum Gumelar, yang kelihatan berkali-kali menarik nafas panjang untuk mengatasi emosi akibat hebatnya "tekanan" dari forum. Di antaranya malah ada yang mengancam akan mengajukan mosi tidak percaya kepadanya, padahal Agum hanya sebagai perpanjangan tangan FIFA untuk menormalkan organisasi sepak bola di Tanah Air.
Utusan badan sepak bola dunia FIFA, Thierry Regenass, yang jabatannya adalah direktur Anggota Asosiasi dan Pengembangan FIFA, seperti tersentak dari duduknya ketika Agum Gumelar berdiri meninggalkan ruang kongres. Tamu asing itu mungkin belum pernah mengalami jalannya sidang yang begitu ramai dan demokratis, sekaligus mencekam.
Demokrasi? Ya memang itulah contoh eforia demokrasi, yang krannya dibuka bersamaan dengan lengsernya Soeharto dan akhirnya nyaris menenggelamkan berbagai ruang publik karena sudah kebablasan.
Agum yang jenderal purnawirawan itu sudah hampir tidak dianggap lagi sebagai ketua sidang, karena tingginya tingkat kepentingan pribadi dan kelompok dalam kongres yang diwarnai dengan hujan protes. Ini dianggap sudah seperti hal biasa.
Biasa seperti biasanya korupsi sistemik di negara ini. Publik setiap hari disuguhi ?makanan? aneka rupa, di antaranya beragam kasus amat kontradiktif.
Uang Gayus dinikmati kalangan atas sebaliknya ada kepedihan di hati nasabah Bank Century yang dananya tak tentu rimba, sampai timbulnya sebab-akibat "pembalasan psikologis", di antaranya penjebolan dana di berbagai bank dan pembobolan ATM.
Celah atas-bawah dan kelas-nonkelas semakin lebar, di satu sisi ada rakyat yang makan nasi aking dan tikus got sementara anggota dewan sibuk dengan studi banding, membangun gedung dan mengobral uang pulsa.
Tindakan liar dan brutal semakin merajalela, ditandai dengan perkelahian antarwarga, antarkelompok, antarsuku dan antaragama, tawuran antarpelajar, antardemonstran dan polisi, sementara hukum sudah di awang-awang dibalut politisasi kepentingan pihak tertentu, di antaranya seperti yang dialami Wafid Muharam dan Muhammad Nazaruddin.
Persatuan bangsa, menurut Sekretaris Pimpinan Muhammadiah Abdul Mu`ti, sedang dicabik-cabik oleh pelbagai konflik dan kekerasan, intoleransi keagamaan semakin menguat, kelompok garis keras dengan bebas menyebarluaskan paham eksklusif dan membenarkan kekerasan terhadap yang tidak mereka sukai.
"Yang paling serius, nilai moral bangsa sudah dibusukkan oleh korupsi yang merasuk dalam seluruh bidang kehidupan masyarakat. Integritas moral dan komitmen politik kerakyatan terancam oleh politik uang," katanya dalam Refleksi Hari Kebangkitan Nasional 2011 yang diadakan tokoh lintas agama di Jakarta, Kamis (19/5).
Kebangkrutan moral
Indonesia, menurut para tokoh lintas agama, mengalami ancaman berbagai kebangkrutan, mulai dari kebangkrutan kualitas moral, solidaritas kebangsaan dan kebangkrutan penegakan hukum.
Dalam diskusi Refleksi 103 Tahun Kebangkitan Nasional di Jakarta, Rabu (18/5), terurai benang merah kesimpulan bahwa Indonesia saat ini seperti tersandera dalam politik pencitraan dan prosedural elitnya.
Substansi demokrasi, yaitu peningkatan kesejahteraan, pendidikan dan kehidupan, tidak terwujud sungguh-sungguh dan Indonesia sudah kehilangan momentum.
"Banyak partai politik tersandera kasus korupsi dan dianggap sebagai imbas dari praktik politik transaksional selama 13 tahun pascareformasi. Parpol tidak memiliki kemampuan menghidupi diri sendiri sehingga mengejar kekuasaan agar bisa menyedot uang negara," kata Airlangga Pribadi, pengajar ilmu politik di Universitas Airlangga Surabaya, (Kompas, 18/5).
Berbagai kasus merambah belantara informasi yang beredar setiap saat dan semuanya bermuara pada kerendahan moral dan tipisnya rasa nasionalisme, sehingga pandangan dasar Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan Pancasila yang selama ini luput dari pendidikan sekolah, kembali disebut-sebut.
Kini, setelah 13 tahun reformasi, banyak orang ingin kembali ke zaman Soeharto, seperti ketika orang-orang tua pernah menginginkan kembali ke zaman "normal" saat mereka merasakan era Orla dan Orba.
Kongres PSSI Jumat malam (20/5) merupakan "negara mini" yang merefleksikan negara yang mengagungkan demokrasi di atas segalanya, diembel-embeli dengan kata reformasi, yang pada hakikatnya sudah kebablasan.
Sebanyak 101 pemilik hak suara dalam kongres PSSI itu sudah terkotak-kotak, di antaranya ada yang menyebut diri dengan K-78,-- pendukung George Toisutta dan Arifin Panigoro,-- dua tokoh yang sebelumnya didukung untuk menggeser Nurdin Halid, orang nomor satu di PSSI, yang sebelumnya juga mengaku didukung hampir semua pemilik suara itu.
Pergeseran dukung-mendukung pun terjadi sebelum kongres dan peristiwa Jumat malam yang disaksikan jutaan rakyat Indonesia menafsirkan adanya semacam politik "layang-layang putus", dirusak saja biar tidak seorang pun berhasil mendapatkannya. Tidak perduli apa pun sanksi yang akan dijatuhkan FIFA, yang salah satunya akan menjatuhkan sanksi Indonesia tidak boleh ikut dalam turnamen internasional.
K-78 dalam temu pers Sabtu (21/5) menyayangkan sikap Agum Gumelar karena meninggalkan kongres hanya karena terjadinya hujan interupsi. Bila diberi kesempatan berbicara, maka semua pihak pasti akan mengaku benar, karena hebatnya kebebasan berpendapat dan berbicara di alam demokrasi yang mengusung dalil reformasi ini.
Kalau moral sebagai roh dalam sendi kehidupan pribadi serta berbangsa dan bernegara sudah terjangkit semacam penyakit kanker yang menggerogoti, maka kelihatannya tinggal nurani sebagai jendela hati yang mampu mengatasi.
Tapi pertanyaannya, apakah kunci jendela hati itu sudah demikian berkaratnya sehingga semua pihak mengalami kebangkrutan moral, terlebih setelah 13 tahun reformasi?
(A008/Z002)
Oleh A.R. Loebis
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011
ahhahaah