Sydney (ANTARA) - Pasar saham Asia merosot dan harga minyak turun pada awal perdagangan Senin pagi, karena melonjaknya kasus Omicron memicu pembatasan yang lebih ketat di Eropa dan penyebarannya di seluruh dunia mengancam akan menyeret ekonomi global memasuki tahun baru.
Kurangnya likuiditas musiman membuat awal perdagangan bergelombang dan indeks berjangka S&P 500 memimpin dengan penurunan 0,7 persen, sementara indeks berjangka Nasdaq melemah 0,6 persen. Indeks MSCI dari saham Asia Pasifik di luar Jepang tergelincir 0,4 persen dan Nikkei Jepang jatuh 0,7 persen.
Penyebaran Omicron membuat Belanda melakukan penguncian pada Minggu (19/12/2021) dan memberi tekanan pada yang lain untuk mengikuti, meskipun Amerika Serikat tampaknya akan tetap terbuka.
Baca juga: Saham Jepang berakhir lebih rendah terseret Omicron jelang putusan Fed
"Omicron akan menjadi Grinch (seseorang yang kejam dan tidak ramah) yang mencuri Natal Eropa," kata Tapas Strickland, direktur ekonomi di NAB. “Dengan kasus Omicron berlipat ganda setiap 1,5-3 hari, potensi sistem rumah sakit kewalahan sekalipun dengan vaksin yang efektif tetap ada.”
Sementara pembatasan virus corona mengaburkan prospek pertumbuhan ekonomi, mereka juga berisiko menjaga inflasi tetap tinggi dan mengubah bank-bank sentral menjadi lebih hawkish.
Perlu dicatat bahwa pejabat Federal Reserve secara terbuka berbicara tentang kenaikan suku bunga segera setelah Maret dan mulai menurunkan neraca bank sentral pada pertengahan 2022.
Itu bahkan lebih drastis daripada yang tersirat di pasar berjangka, yang telah jauh di depan tujuan Fed sampai sekarang. Pasar hanya memperkirakan peluang kenaikan (suku bunga) sebesar 40 persen pada Maret, dengan Juni masih menjadi bulan yang disukai untuk kenaikan.
Baca juga: Saham China berakhir melemah terseret kekhawatiran Omicron dan utang
Obrolan hawkish dari Fed seperti itu adalah alasan utama imbal hasil obligasi pemerintah jangka panjang turun pekan lalu karena short-end naik. Itu membuat kurva imbal hasil obligasi dua-10 tahun mendekati yang paling datar sejak akhir 2020, yang mencerminkan kebijakan pengetatan risiko akan menyebabkan resesi.
Ekonom BofA melihat risiko ini sebagai alasan untuk bersikap bearish pada ekuitas, meskipun survei terbaru mereka terhadap para fund manager menemukan hanya 6 persen perkiraan resesi tahun depan dan hanya 13 persen saham underweight. Sebagian besar saham teknologi tetap overweight dengan "long tech" masih dipandang sebagai satu-satunya perdagangan yang paling ramai.
Mereka juga mencatat bahwa untuk tahun 2021, pemenangnya adalah minyak dengan keuntungan sebesar 48 persen, REIT sebesar 42 persen, Nasdaq sebesar 25 persen dan bank dengan 21 persen. Pencetak kerugian termasuk biotek dengan penurunan 22 persen, sementara China juga kehilangan 22 persen, perak jatuh 19 persen dan JGB (obligasi pemerintah Jepang) turun 10 persen.
Itu adalah tahun terbaik untuk komoditas sejak 1996, dan yang terburuk untuk obligasi pemerintah global sejak 1949.
Senin pagi, imbal hasil obligasi 10-tahun AS turun 1,38 persen dan jauh di bawah puncak 2021 sebesar 1,776 persen.
Pergantian sikap jadi lebih hawkish The Fed dikombinasikan dengan aliran safe-haven mendukung indeks dolar AS mendekati yang terbaik untuk tahun ini di 96,665, menyusul lonjakan 0,7 persen pada Jumat (17/12/2021).
Euro melemah di 1,1241 dolar AS, setelah turun 0,8 persen pada Jumat (17/12/2021) mengancam level terendah tahun ini di 1,1184 dolar AS. Yen Jepang memiliki status safe haven sendiri dan bertahan stabil di 113,63 per dolar.
Sterling turun pada 1,3228 dolar AS karena kekhawatiran Omicron menghapus semua keuntungan yang dibuat setelah kenaikan suku bunga mengejutkan dari bank sentral Inggris minggu lalu.
Emas terlihat menguat di 1.801 dolar AS per ounce, setelah menghentikan penurunan beruntun lima minggu pekan lalu karena ekuitas tergelincir.
Harga minyak berayun lebih rendah di tengah kekhawatiran penyebaran varian Omicron akan menghambat permintaan bahan bakar dan tanda-tanda membaiknya pasokan.
Brent turun 1,56 dolar AS menjadi 71,96 dolar AS per barel, sementara minyak mentah AS kehilangan 1,43 dolar AS menjadi 69,43 dolar AS per barel.
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021