Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah LSM lingkungan menyayangkan terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) No.10/2011 tentang Penundaan (moratorium) Pemberian Izin Baru bagi Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang tak mencakup hutan sekunder.

Sejumlah LSM itu adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Greenpeace, WWF-Indonesia dan lembaga riset kehutanan internasional CIFOR melalui keterangan pers yang diterima ANTARA di Jakarta, Jumat, menanggapi Inpres moratorium yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Kamis (19/5).

Kepala Departemen Hubungan Internasional dan Keadilan Iklim Walhi, Muhammad Teguh Surya mengatakan Inpres yang menyebutkan moratorium izin untuk hutan konservasi, hutan lindung dan lahan gambut merupakan hal yang bodoh karena jenis hutan tersebut memang sudah dilindungi berdasarkan undang-undang Kehutanan junto kebijakan terkait lainnya.

Padahal, target inisiatif moratorium sejak awal adalah menyelamatkan kawasan hutan yang tersisa di luar kawasan yang memang sudah dilindungi.

"Hal ini juga dengan sangat jelas tertuang dalam Letter of Intent (LOI) antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia yang dittandatangani pada tanggal 26 Mei 2010 yang salah satu pointnya menyebutkan `A two year suspension on all new concessions for conversion of peat and natural forest`," kata Teguh.

Walhi juga menyoroti istilah "Hutan Alam Primer" dalam Inpres yang tidak dikenal di dalam hukum kedua negara, baik Indonesia (UU No.41/1999 tentang Kehutanan) maupun Norwegia, sehingga Inpres No. 10/2011 tersebut cacat hukum karena tidak jelas referensi hukum yang digunakan.

"Istilah tersebut merupakan istilah teknis yang hanya digunakan untuk mempermudah melihat tingkat degradasi hutan bukan untuk sebuah kebijakan maupun dalam konteks pemberian ijin usaha," katanya.

Walhi berpendapat bentuk dari kebijakan moratorium hutan seharusnya berbentuk undang-undang atau setidaknya Perpres, bukan dalam bentuk Inpres.

Oleh karena itu, Walhi tetap mendesak Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan moratorium konversi hutan yang sebenarnya.

Jurukampanye Hutan Greenpeace Bustar Maitar menyambut baik diterbitkannya Inpres moratorium izin hutan dan merepresentasi adanya perubahan politis menuju upaya perlindungan hutan Indonesia.

"Tetapi kami juga prihatin bahwa hanya hutan primer dan sebagian kecil areal gambut yang tercakup dalam moratorium, bahkan sebagian besar areal yang termasuk dalam peta indikatif moratorium adalah kawasan konservasi dan lindung yang dilindungi oleh hukum," katanya.

Menurut dia, puluhan juta hektare hutan Indonesia masih tetap akan dihancurkan. Pengumuman hari ini jauh dari Komitmen presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perlindungan hutan dan membuat keraguan besar dalam pengimplemetasiannya.

Komitmen moratorium
Berdasarkan analisis peta yang dilakukan oleh Greenpeace, 104,8 juta ha hutan Indonesia seharusnya tercakup dalam moratorium untuk membuat komitmen SBY lebih berarti atau dengan komitmen moratorium sebesar 64 juta ha berarti masih ada sekitar 40 juta hektar (39 persen) hutan indonesia yang akan dihancurkan.

Sedangkan CIFOR melihat tidak dimasukkanya hutan sekunder yang luasnya sekitar 36 juta hektar dalam Inpres moratorium hutan menimbulkan pertanyaan akan kemampuan Indonesia untuk memenuhi target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen.

"Upaya-upaya penurunan emisi perlu difokuskan pada mempertahankan hutan yang ada tetap sebagai hutan," kata Peneliti Utama untuk Perubahan Iklim di CIFOR, Louis Verchot.

Sementara WWF-Indonesia melihat karena Inpres moratorium tidak mencakup hutan sekunder, maka pemerintah agar memperkuat metode analisis dan kultural di hutan sekunder.

"Hal itu untuk melindungi hutan sekudner yang punya stok karbon yang tinggi, nilai keanekaragaman tinggi, nilai kultural yang penting, agar tidak dikonversim," kata Direktur Iklim dan Energi WWF-Indonesia, Nyoman Iswarayoga.

Nyoman mencontohkan hutan sekunder yang banyak terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Papu yang harus tetap dilindungi.

Sebelumnya, Presiden telah menandatangani Instruksi Presiden nomor 10 tahun 2011 tentang Penundaan (moratorium) Pemberian Izin Baru bagi Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut serta Penyempurnaan Tata Kelola Hutan dan Gambut.
(N006/S019)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011