Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah akan menerapkan sanksi tegas bagi mereka yang melanggar Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 tahun 2011 tentang Penundaan (Moratorium) Pemberian Izin Baru bagi Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut serta Penyempurnaan Tata Kelola Hutan dan Gambut.
"Kalau berkaitan korupsi, kita proses," kata Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat.
Dipo memberikan perhatian khusus kepada kemungkinan pelanggaran Inpres yang terkait dengan janji-janji Pilkada. Dia menegaskan, jika pihak tertentu menjanjikan pengelolaan hutan demi memenangkan Pilkada, maka pemerintah tidak akan tinggal diam.
"Jika terbukti melanggar, pemerintah akan bekerja sama dengan MK agar dibatalkan (kemenangannya dalam Pilkada-red)," kata Dipo.
Dipo menjelaskan, Inpres Moratorium itu adalah sarana untuk menyelamatkan lingkungan sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dia mengakui penyusunan Inpres itu agak terlambat karena Sekretariat Kabinet harus mendalami semua naskah yang diberikan kementerian. Sekretariat Kabinet perlu melakukan penyesuaian, penggabungan, dan penyederhanaan terhadap setiap naskah sehingga tidak tumpang tindih.
"Setkab bukan kantor pos yang terima dari menteri langsung jadi," katanya.
Sementara itu, Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, Agus Purnomo di tempat yang sama mengatakan, penundaan izin pengelolaan itu berlaku untuk seluruh hutan alam primer dan seluruh lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan Area Penggunaan Lain (APL).
Penundaan itu berlangsung selama dua tahun. Agus belum bisa menjelaskan tentang kelanjutan penundaan setelah jangka waktu dua tahun sudah terlewati.
Agus mengutip data kementerian kehutanan pada 2010 tentang luas dan lokasi hutan alam primer, lahan gambut, dan hutan sekunder.
Berdasarkan data itu, luas hutan alam primer mencapai 64,2 juta hektar. Hutan jenis ini tersebar di beberapa jenis hutan, yaitu hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan Area Penggunaan Lain.
Lahan gambut mencapai 24,5 juta hektar, sebagian masuk dalam kategori hutan sekunder, sedangkan yang lain masuk kategori bukan hutan. Sementara lahan gambut seluas 7,4 juta hektar berada di hutan alam primer.
Sedangkan luas hutan sekunder mencapai 36,6 juta hektar yang juga tersebar di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan Area Penggunaan Lain.
"Data ini bisa berubah sewaktu-waktu," katanya.
Inpres moratorium hutan ini disusun setelah adanya Letter of Intent (LoI) antara Indonesia dengan Norwegia atau disebut Kesepakatan Oslo.
Kesepakatan Oslo yang ditandatangani pada 26 Mei 2010 itu merupakan kerja sama untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD), senilai satu miliar dolar AS.
Kerja sama itu terdiri dalam tiga tahap yaitu tahap pertama dimulai 2010, kedua pada Januari 2011 hingga 2014 dan tahap ketiga pada 2014-2016.
Tahap pertama berupa kegiatan konsultasi dan penyusunan strategi nasional REDD+, pembentukan lembaga REDD+ langsung yang keberadaannya langsung dibawah Presiden RI.
Selain itu juga dilakukan pembentukan lembaga MRV (monitoring, reporting and verification) yang independen dan dipercaya, pemilihan instrumen pendanaan dan pemilihan provinsi uji coba.
Sedangkan tahap kedua meliputi operasionalisasi instrumen pendanaan, peluncuran program uji coba propinsi REDD+ yang pertama, dan penghentian pengeluaran ijin baru konversi hutan alam dan gambut selama dua tahun.
Selain itu juga dilakukan pembuatan database lahan hutan yang rusak atau terdegradasi, ujicoba provinsi kedua REDD+ dan pelaksanaan MRV untuk tier kedua.
Tahap ketiga yaitu pelaksanaan lanjutan strategi dan program REDD+ di tingkat nasional, pemantauan, pengkajian dan verifikasi program REDD+ oleh lembaga MRV yang independen, serta laporan ke UNFCCC mengenai emisi dari lahan hutan dan gambut yang telah dilakukan.
Sedangkan pihak Norwegia akan mengucurkan dana sebanyak 200 juta dolar AS untuk tahap satu dan tahap kedua, serta 800 juta dolar AS untuk tahap ketiga.
Agus Purnomo menegaskan, penandatanganan Inpres Moratorium tidak terkait dengan pencairan dana satu miliar dolar AS dari Norwegia.
"Karena uang itu sudah cair sebelum penyusunan Inpres," katanya.
Dia menyebut uang yang sudah cair itu senilai 30 juta dolar AS yang saat ini dikelola oleh UNDP. Namun, Agus tidak memberikan penjelasan rinci tentang mekanisme pencairan sisa uang dan pengelolaannya.
(F008*D013)
(ANTARA)
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011