Perlunya upaya mengubah budaya yang masih berpihak pada pelaku kekerasan seksual menjadi budaya yang berpihak pada korban.

Jakarta (ANTARA) - Rape culture yang masih membudaya di masyarakat dapat menghambat sosialisasi dan implementasi Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, kata Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Musdah Mulia.

"Kita harus mengakui bahwa kita masih punya rape culture, yaitu kultur yang tidak menganggap persoalan-persoalan terkait dengan kekerasan seksual itu bukan masalah," kata Prof. Musdah saat menjadi pembicara pada acara diskusi virtual yang diikuti di Jakarta, Sabtu.

Ia mencontohkan masih banyak pihak yang menganggap ringan pemerkosaan dan kasus kekerasan seksual. Bahkan, sering kali kelompok itu menyalahkan korban.

Oleh karena itu, dia mendorong seluruh pemangku kepentingan, terutama perguruan tinggi, untuk menyebarkan pemahaman bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan.

"Penting bagi perguruan tinggi, perguruan tinggi mana saja, mulai menyosialisasikan dengan luas bahwa kekerasan seksual adalah crime—sebuah kejahatan dan kebiadaban yang tidak hanya bisa ditindak dengan hukum-hukum biasa, tetapi saya pikir harus jauh lebih berat dari itu," kata Musdah Mulia.

Tidak hanya itu, Prof. Musdah juga meyakini perlunya ada upaya mengubah budaya yang saat ini masih berpihak pada pelaku kekerasan seksual menjadi budaya yang berpihak pada korban.

"Bagaimana kita bisa merekonstruksi budaya lewat pendidikan? Mulai dari pendidikan di keluarga," ujarnya.

Dengan demikian, kata dia, Permendikbudristek No.30/2021 harus didukung dan dikawal pelaksanaannya karena aturan itu merupakan salah satu cara mengembalikan muruah perguruan tinggi, yang dalam beberapa bulan terakhir banyak terkena kasus kekerasan seksual.

"Adanya Permendikbudristek ini saya pikir adalah upaya-upaya konkret mengedukasi tenaga pendidik bagaimana meyakinkan mereka bahwa kekerasan seksual sesuatu yang tidak boleh terjadi dengan alasan apa pun," kata Musdah Mulia.

Ia menambahkan bahwa Permendikbudristek No.30/2021 juga dapat menjadi alat mengedukasi mahasiswa dan tenaga nonpendidikan, terutama terkait dengan cara-cara membangun relasi yang menghormati harkat dan martabat manusia.

"Saya pikir tidak ada jalan lain, kita harus speak up dan berani menyuarakan kebenaran melalui Permendikbud ini, dan bagaimana menjadikan Permendikbud ini sebagai pijakan untuk transformasi lembaga pendidikan, dan transformasi kita semua menuju Indonesia yang lebih beradab," kata Musdah Mulia menutup paparannya pada sesi diskusi.

Baca juga: Kemenag gandeng KPAI dan aparat investigasi kasus pelecehan seksual

Baca juga: Unsri libatkan mahasiswi jadi satgas antisipasi pelecehan seksual

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021