Beijing (ANTARA) - Pesawat militer berbadan lebar C-17 milik Angkatan Udara Amerika Serikat lepas landas dari Bandar Udara Internasional Hamid Karzai, Kabul, pada menit-menit akhir menjelang tengah malam tanggal 31 Agustus 2021 di ibu kota Afghanistan itu.
Pasukan militer AS, termasuk para komandan mereka, dan Duta Besar AS untuk Afghanistan Ross Wilson, berada dalam kelompok terbang (kloter) terakhir yang meninggalkan Kabul pada malam itu.
Penerbangan terakhir itu berlangsung mudah karena diwarnai dengan serangkaian ledakan bom di sekitar bandara yang menewaskan lebih dari 100 orang, termasuk 13 di antaranya tentara AS.
Bertolaknya pesawat militer AS buatan Boeing itu juga menyisakan peristiwa ironi. Beberapa warga sipil Afghanistan yang nekad "gandol" pesawat tewas bersimbah darah di sekitar area bandara.
Tubuh mereka terlempar dan sempat melayang-layang di udara sebelum jatuh ke bumi.
Para korban, yang merupakan penduduk setempat, itu memilih mati dengan cara yang tragis dan sangat tidak realistis daripada harus tunduk kepada pasukan gerilyawan Taliban yang berhasil merebut kembali Afghanistan.
Baca juga: Lima tewas di bandara Kabul, tentara AS tembakkan peluru ke udara
Penerbangan 31 Agustus itu menandai berakhirnya seluruh rangkaian proses penarikan pasukan AS dari Afghanistan.
"Misi militer kami di Afghanistan akan selesai pada 31 Agustus," kata Presiden AS Joe Biden dalam pidatonya di Gedung Putih pada 8 Juli 2021.
Instruksi dari Gedung Putih tersebut dilaksanakan sesuai rencana. Terhitung sejak 14 Agustus, sudah 122 ribu orang diterbangkan keluar dari Kabul --sehari sebelum Taliban menguasai wilayah ibu kota.
Penerbangan pamungkas C-17 itu pula menandai berakhirnya misi pasukan AS di Afghanistan selama 20 tahun, terhitung sejak 11 September 2011.
Keputusan Biden tersebut menuai kontroversi bahkan memunculkan keraguan di balik hegemoni AS selama ini.
Beragam spekulasi mengemuka, seperti mulai dari berkurangnya anggaran militer AS dan perubahan situasi geopolitik sejak kekuatan militer China terus tumbuh dalam beberapa tahun terakhir.
Para peneliti dari Brown University memperkirakan bahwa AS telah menghabiskan 5,8 triliun dolar AS (sekitar Rp83,2 kuadriliun) dalam perang di Afghanistan, yang berlangsung sejak serangan Menara Kembar WTC di Manhattan, New York, pada 11 September 2001.
Dana itu belum termasuk biaya penarikan 122 ribu pasukan AS dan elemen pendukung lainnya dari Afghanistan.
Selama 20 tahun masa pendudukan AS itu pula telah menyebabkan 2.000 tentara dan staf pemerintahan AS tewas, ditambah lebih dari 100 ribu warga sipil Afghanistan yang tewas dan terluka.
AS jelas kecewa lantaran besarnya pertaruhan tersebut tidak diimbangi oleh kekuatan pasukan pemerintah Afghanistan.
Pasukan pemerintah Afghanistan yang dilatih bertahun-tahun oleh AS tidak saja kehilangan kontrol atas wilayahnya, melainkan juga kehilangan semangat bertempur.
Akhirnya, pasukan gerilyawan Taliban dengan mudah merebut beberapa wilayah di Afghanistan, termasuk Kabul, sebagai pusat pemerintahan yang baru saja ditinggal kabur oleh presiden dua periode, Ashraf Ghani.
Baca juga: Afghanistan terima bantuan pasokan musim dingin kedua dari China
Wang Yi - Baradar
Kurang dari 20 hari sejak Biden menggelar konferensi pers di Gedung Putih pada 8 Juli, Menteri Luar Negeri China Wang Yi bertemu dengan Ketua Komisi Politik Taliban Mullah Abdul Ghani Baradar.
Pertemuan singkat yang berlangsung di Kota Tianjin, wilayah utara China, pada 28 Juli 2021 itu menjadi babak baru dalam konstelasi hubungan Beijing dan Taliban.
Kepada mitranya itu, Wang menyatakan bahwa China akan selalu menghormati kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas teritorial Afghanistan.
China juga tidak akan mencampuri segala urusan dalam negeri Afghanistan karena Beijing menganggap Afghanistan adalah milik rakyat Afghanistan.
"Penarikan pasukan AS dan NATO dari Afghanistan yang terbilang tergesa-gesa itu sebenarnya menunjukkan kegagalan kebijakan AS terhadap Afghanistan," tukas Wang, yang juga anggota Dewan Pemerintahan China setingkat menteri koordinator itu.
Ia juga menganggap bahwa Taliban merupakan pasukan militer dan organ politik penting di Afghanistan yang diharapkan memainkan peran yang signifikan dalam menciptakan perdamaian di sana.
"Kami berharap Taliban akan menjunjung tinggi kepentingan utama negara dan bangsanya, mengutamakan pembicaraan damai, dan membangun citra positif dengan mengedepankan kebijakan inklusif," katanya.
Baradar menanggapi pernyataan itu dengan memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada China yang memberikan kesempatan baginya untuk mengunjungi negara pemimpin ekonomi kedua di dunia itu.
Baca juga: China serukan pencabutan sanksi internasional terhadap Afghanistan
Menurut dia, China selalu menjadi mitra tepercaya bagi rakyat Afghanistan.
Bahkan, dia memuji-muji China karena peran positifnya dalam proses perdamaian dan rekonsiliasi di negaranya.
"Taliban dengan penuh ketulusan akan mewujudkan perdamaian sehingga siap bekerja sama dengan pihak lain dalam membangun kerangka politik di Afghanistan yang inklusif dan diterima oleh seluruh rakyat Afghanistan demi melindungi hak asasi manusia, terutama hak-hak perempuan dan anak-anak," ucap Baradar.
Wang pun memanfaatkan pertemuan tersebut dengan mengangkat isu tentang Xinjiang.
Tanpa segan-segan, Menlu Wang menyinggung separatisme, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme yang pernah terjadi provinsi terbesar di daratan China itu.
Ia menekankan bahwa Gerakan Islam Turkistan Timur (ETIM) adalah organisasi teroris internasional yang menampakkan ancaman nyata terhadap keamanan nasional dan integritas teritorial China.
Bagi Wang, memerangi ETIM yang berkeinginan untuk memisahkan Xinjiang dari China menjadi tanggung jawab bersama masyarakat internasional.
"Kami berharap Taliban memutus jaringan dengan semua organisasi teroris, termasuk ETIM, dan secara aktif memerangi semua hambatan, berperan positif, dan menciptakan stabilitas keamanan, pembangunan, dan kerja sama di kawasan," ujarnya.
Di depan Wang, Baradar pun berjanji bahwa Taliban tidak akan pernah mengizinkan sejengkal pun wilayah teritorial Afghanistan kepada pasukan mana pun untuk melakukan tindakan apa pun yang merugikan China.
Taliban sudah seharusnya membangun kemitraan dengan negara-negara tetangga dan komunitas internasional.
"Kami berharap China akan lebih banyak terlibat dalam proses rekonsiliasi dan perdamaian di Afghanistan serta memainkan peran yang lebih besar dalam pembangunan ekonomi pada masa yang akan datang," kata Baradar.
Baca juga: China bantu pemerintahan baru Afghanistan 3 juta vaksin, 200 juta yuan
UNHCR berjibaku bantu pengungsi Afghanistan di musim dingin
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2021