Sesungguhnya kita sedang berada di titik serius setelah 103 tahun kebangkitan nasional, apabila tonggaknya tertancap pada 20 Mei 1908. Dikatakan serius karena kita semua tentu punya keinginan melihat bangsa ini maju, tetapi sayangnya rasanya seperti

Jakarta (ANTARA News) - Tentu saja saya tak hendak mengulas soal di mana gerangan rocker tempo dulu Bangkit Sanjaya, tetapi ini sesuatu yang lebih serius dan sakral: kebangkitan nasional. Mei adalah bulan yang istimewa, bukan saja karena kebetulan dua anak saya lahir pada bulan ini, tetapi bangsa kita punya dua peringatan di dalamnya: pendidikan dan kebangkitan.

Sungguh sangat jelas apa kaitan pendidikan dan kebangkitan itu. Kalau menengok sejarah kebangkitan nasional yang kita kenal selama ini, maka ia tak lepas dari konteks pendidikan. Penggerak organisasi-organisasi modern saat itu adalah elite terpelajar.

Jumlahnya masih sangat terbatas saat itu, mengingat politik kolonial membatasi jumlah peserta didik pribumi. Tapi mereka mampu mengubah strategi, dari, apa yang sering dibilang Sejarawan Prof Anhar Gonggong, perjuangan fisik melawan kolonial menjadi perjuangan non-fisik, melalui organisasi modern yang visioner.

Soal elite-elite dominan dalam sejarah kita, Rektor Universitas Paramadina Dr Anies Baswedan, mencatat bahwa setelah elite terpelajar menggerakkan kebangkitan secara nasional menuju kemerdekaan Indonesia, elite yang dominan adalah elite militer (Orde Baru), elite aktivis (Reformasi), dan kemungkinan besar kelak adalah elite enterpreuner (wirausaha).

Apakah memang demikian kecenderungannya, bahwa pengusaha akan menjadi elite dominan dalam sejarah masa depan politik kita? Saya kira bisa ya, bisa tidak. Peluang elite-elite aktivis juga masih besar, walaupun harus diakui naiknya mereka ke panggung politik tak dapat dilepaskan dari dukungan berbagai pihak, juga sponsor-sponsor dari pengusaha.

Sesungguhnya kita sedang berada di titik serius setelah 103 tahun kebangkitan nasional, apabila tonggaknya tertancap pada 20 Mei 1908. Dikatakan serius karena kita semua tentu punya keinginan melihat bangsa ini maju, tetapi sayangnya rasanya seperti jalan di tempat, kalau bukan, dalam hal-hal tertentu, mundur.

Kita barangkali langsung mengamini berbagai pendapat yang berkembang sebagai refleksi Hari Kebangkitan Nasional : bahwa bangsa ini masih banyak terbelenggu atau terjerat oleh berbagai hal yang membuatnya bergerak lambat. Bangsa ini keberatan beban-beban yang seharusnya tak perlu.

Saya sendiri mencatat setidaknya ada tujuh jerat yang membuat bangsa kita sekarang belum bangkit-bangkit juga: jeratan korupsi, pragmatisme-kekuasaan dan jalan pintas, ketergantungan, konsumerisme, feodalisme, primordialisme, dan simbolisme-mitologis.

Tapi mungkin anda masih menambahkan beberapa jeratan lain yang tak kalah penting: kemiskinan, mismanajemen, dan (ini yang agak sensitif) kepemimpinan yang kurang efektif. Atau bahkan, kita bisa meminjam istilah Sjahrir soal “mentalitas pribumi” kita: suatu mental yang minder, tidak percaya diri, tidak merasa mampu, serahkan saja semua pada pihak asing!

Sumberdaya alam kita melimpah. Sumberdaya manusia kita (kalau dilihat dari statistik tingkat pendidikan –terlepas dari pendidikan kita yang terasa mencekik leher biayanya), seharusnya juga meningkat (kaum terdidik kita dan para ahli kita tidak sedikit yang brilian di luar negeri). Tapi, seolah antara dua sumberdaya itu dibatasi dinding kaca: orang-orang pintar hanya bisa memandang betapa kayanya potensi kita, tapi merasa kurang bisa berbuat apa-apa!

Orang-orang pintar (bukan dukun) itu, paham bahwa kita ini raksasa, bangsa besar dengan potensi besar. Sayang, ia masih tertidur pulas. Dibutuhkan orang-orang ksatria pembangun. Artinya, membangunkan raksasa itu, bukan membangun kekuasaan dan kekayaan perut sendiri.

Saya termasuk orang yang sangat menghargai anak-anak muda pemberani dan inovatif di bidangnya masing-masing. Kita masih punya harapan! Walaupun sistem kita masih banyak meninggalkan celah yang menjengkelkan, membatasi orang untuk berkembang dan berprestasi –ya karena iklim pragmatisme-transaksional sudah merambah ke mana-mana itu.

Saya sendiri sebagai anak muda juga merasa tidak dapat berbuat apa-apa –kecuali mungkin hanya membuat kolom-kolom yang mungkin bagi Anda membosankan dan bertele-tele semacam ini.

Saya sendiri juga merasa susah untuk menjadi anak muda sejati, yang bukan, meminjam Kang Sobary, “manusia bayang-bayang”, alias masih terlalu banyak bergantung sama senior, yang tua –walaupun yang tua tetap diperlukan sebagai rujukan agar kita tetap dapat menjadi bijak dan sabar.

Saya sering membayangkan membangkitkan bangsa ini seperti membangunkan para pemuda dari tidurnya. Dalam hal ini retorika Bung Karno mungkin masih relevan. Ia minta dibawakan sedikit pemuda ketimbang banyak orangtua untuk mengubah dunia!

Banyak di antara anak-anak muda kita, yang cukup terdidik pula, tak tahu harus berbuat apa untuk bangsa ini –sedangkan berbuat yang terbaik untuk dirinya (dan lingkungannya) saja tidak menjadi kesadaran yang mengemuka.

Barangkali refleksi saya ini terlalu membesar-besarkan persoalan, sehingga yang banyak mengemuka sinisme –padahal saya sendiri termasuk orang yang tidak suka mensinisi orang. Tapi apa boleh buat, kita butuh disinisi, bahkan lebih dari itu digertak secara sarkastik: agar kita bangun, bergerak, dan dengan penuh kesadaran apa yang kita lakukan sekecil apapun bermakna.

Bergerak tentu bukan seperti zombie atau robot. Justru dimensi kemanusiaan kita harus tetap membimbing pembangunan. Kita harus bergerak menentukan nasib: bukan nasib kita yang terus ditentukan orang (bangsa) lain. Ayo bangkit, bangkit!
(***)


M Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011