"Agak susah orang-orang Islam itu menyatu dalam satu partai politik, karena mungkin egoisme atau kesombongan elit-elit politik Islam itu terlalu kuat," katanya di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, dalam sejarah kepartaian di Indonesia, partai-partai Islam hanya mampu bergabung karena ada paksaan dari kekuatan luar.
Pada saat revolusi, organisasi-organisasi politik Islam bergabung dalam Masjumi karena dipaksa Jepang. Namun mendekati pemilu pada 1955, partai-partai politik Islam kemudian pecah.
Begitu pula pada masa Orde Baru. Partai-partai politik Islam dipaksa fusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Namun di masa reformasi kembali muncul berbagai politik Islam.
Menurut dia, egoisme elit politik Islam justru membuat parpol Islam lebih mudah bergabung ke partai nasionalis.
Ia mencontohkan pecahan PPP, Partai Bintang Reformasi yang memilih masu Gerindra dibanding induknya sebelumnya.
"Ini menunjukkan betapa agak susah orang-orang Islam itu menyatu dalam satu partai politik," katanya.
Ia menambahkan, juga sulit untuk menggabungkan antara partai basis massa Islam modern dan Islam tradisional.
Menurut dia, ada kecenderungan partai Islam berbasis tradisional lebih menyukai bergabung dengan partai nasionalis dibandingkan dengan partai Islam lainnya.
Ia mengatakan, hingga saat ini partai politik Islam hanya berangan-angan mengenai potensi kekuatan politik Islam namun tidak pernah bisa teraktualisasi.
"Ya karena egoisme elit yang masih muncul ke depan sehingga sulit untuk bergabung menjadikan kekuatan politik yang aktual dalam artian positif," katanya.(*)
M041/E001
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011