Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah akan menghapus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jasa pelayaran asing yang sebesar Rp10 persen, menyusul suksesnya pengenaan biaya penanganan angkutan peti kemas (Terminal Handling Charge/THC) yang baru yakni 95 dolar AS untuk kontainer 20 kaki. "Berikutnya, sebagai azas resiprokal, kami sepakat akan menghapuskan ketentuan PPN 10 peren untuk jasa muat komoditi ekspor dan impor oleh pelayaran asing," kata Menteri Perhubungan Hatta Rajasa didampingi Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu kepada pers usai Rakor Inpres 5/2005 dan Keppres Percepatan Barang Ekspor dan Impor, di Jakarta, Senin. Menurut Hatta, ketentuan PPN 10 persen tersebut tidak berlaku di negara lain sehingga tak bisa dipertanggungjawabkan secara timbal balik antar negara (resiprokal). "Jadi, Menteri Keuangan, Perhubungan dan Perdagangan akan merumuskannya. Terhitung mulai kapan, ya secepatnya. Nanti, akan diumumkan," kata Hatta. Ketentuan tersebut, tidak bermaksud memberi stimulus baru bagi pelayaran asing untuk datang dan mengangkut potensi muatan domestik yang saat ini masih dikuasai oleh asing. "Mereka yang terkena ketentuan ini adalah kapal-kapal yang mengangkut muatan dari luar negeri ke domestik. Apalagi, Indonesia tak mewajibkan kapal-kapal nasional untuk melayari rute internasional, tetapi hanya muatan yang dibiayai APBN dan muatan milik BUMN," katanya. Sementara itu, terkait dengan pelaksanaan Inpres 5/2005 tentang Pemberdayaan Pelayaran Nasional, Hatta mengatakan, sejak Maret 2005 hingga 31 Desember 2005 telah terjadi peningkatan jumlah kapal berbendera Indonesia dari 6.041 menjadi 6.689 kapal atau meningkat 10,70 persen dengan 648 unit kapal. Ini terjadi karena pemerintah telah menetapkan "roadmap" penggunaan wajib kapal-kapal Indonesia untuk memuat enam komoditas pada 2006 di dalam negeri dan pada 2009 dari 13 komoditas yang ada hanya tersisa untuk angkutan migas dan batubara saja. "Namun, ada klausul, jika kapal nasional sudah siap untuk batubara dan migas, juga sudah wajib cabotage. Terhadap dua komoditas ini, pemerintah lebih pada posisi menghormati kontrak jangka panjang oleh mereka yang umumnya hingga 2010," katanya. Hatta mengakui, stimulasi percepatan tersebut akibat telah dikeluarkannya keputusan menteri tentang tata cara perpindahan kapal ke berbendera Indonesia. Selain itu, anggota INSA melakukan penambahan kapal-kapal baru sendiri baik lewat pembiayaan luar maupun dalam negeri. Oleh karena itu, penambahan kapal itu milik pengusaha nasional berwarganegara Indonesia karena prakteknya tidak gampang. "Mana ada sih, mereka mau `ecek-ecek`," katanya. Dicontohkannya, dalam memindahkan status kepemilikan kapalnya itu mereka melibatkan pengacara dan secara legal ke notaris untuk merilis hak kepemilikan asing ke nasional. Pemerintah melalui masing-masing pokja di 13 departemen terkait, telah menetapkan sejumlah peraturan menteri dan dari Departemen Perhubungan sendiri terdapat 12 peraturan dengan rincian empat telah menjadi peraturan menteri, tujuh sedang dibahas di tingkat interdep dan sisanya ada di stakeholders. "Seluruh peraturan itu untuk mendukung deklarasi pemberlakukan `roadmap` tadi mulai 1 April 2006 tentang penerapan azas cabotage, kewajiban muatan domestik diangkut oleh kapal berbendera Indonesia," kata Hatta. Tujuan dari pemberdayaan pelayaran nasional itu, kata Menteri, akan terukur dari berapa besar pangsa muatan yang dikelola oleh kapal berbendera Indonesia dari tahun ke tahun dari total volume angkutan domestik saat ini yang mencapai Rp22 triliun per tahun. Dengan demikian, Inpres 5/2005 tersebut tidak hanya menitikberatkan pada pangsa angkutan, tetapi dampak lainnya adalah peningkatan produksi galangan kapal nasional, jumlah pelaut domestik dan pembiayaan di sektor ini. Pangsa muatan domestik oleh kapal nasional pada 2005 sudah menjadi 55,47 persen dari jumlah muatan 206,335 juta ton, sedangkan untuk angkutan luar negeri masih 94,95 persen oleh asing dari total angkutan 492,970 juta ton. THC Menyinggung Percepatan Ekspor dan Impor Barang terkait dengan Terminal Handling Charge (THC), Hatta mengatakan, saat ini pelaksanaan THC yang baru posisinya sudah 100 persen. "Artinya, semua Main Line Operator (MLO) sudah menetapkan berdasarkan ketetapan baru yang merupakan hasil kesepakatan semua stake holder dari operator pelabuhan atau lainnya yakni 95 dolar AS untuk kontainer 20 feet," katanya. Oleh sebab itu, tegasnya, pemerintah akan melanjutkan pada aksi-aksi lainnya seperti pembenahan tata ruang pelabuhan dan menghilangkan biaya-biaya tak resmi lainnya sehingga nantinya terjadinya penataan pelabuhan yang berdaya saing. "Pada Januari ini, Pelabuhan Tanjung Priok akan dideklarasikan sebagai pelabuhan yang bebas dari segala bentuk pungutan liar," katanya. Kemudian, secara paralel, kata Hatta, pemerintah akan melakukan audit independen terhadap pelabuhan, khususnya untuk pembenahan sistem yakni mulai dari kapal, bongkar muat dan sebagainya dan diharapkan hasilnya menjadi acuan untuk perbaikan berikutnya. "Dari hasil audit nanti, dimungkinkan biaya THC saat ini yang terdiri 70 dolar AS untuk komponen CHC (Container Handling Charge) dan 25 dolar AS untuk biaya tambahan (surcharge) oleh pelayaran asing, untuk peti kemas 20 kaki, bisa diturunkan lagi jika nanti ditemukan komponen tanpa jasa tapi ada biaya," katanya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006