Kupang (ANTARA News) - Anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KPK) Indonesia-Timor Timur, Mgr Petrus Turang Pr menilai penembakan tiga warga sipil asal Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Jumat (6/1), "melukai" upaya rekonsiliasi dan persahabatan yang tengah dibangun kedua negara. "Upaya yang kita bangun selama ini seakan sirna begitu saja ketika meletusnya insiden penembakan yang mengakibatkan tiga warga sipil asal Kabupaten Belu tewas," kata Mgr Turang yang juga Uskup Agung Kupang itu, ketika dihubungi ANTARA melalui telepon selulernya, Senin. Ketika warga sipil asal Desa Tohe, Kecamatan Reihat, Kabupaten Belu, yang ditembak mati oleh Kepolisian Nasional Timor Leste (PNTL) dari Unit Patroli Perbatasan (BPU) itu, masing-masing Stanis Maubere (48), Jose Mausorte (38), dan Candido Mariano (26) ketika sedang mencari ikan di Sungai Malibaca, wilayah perbatasan NTT-Timor Leste. Uskup Turang mengatakan insiden penembakan semacam itu terjadi hampir di semua negara di dunia ini, namun hal itu sampai terjadi karena ketidak-mampuan dalam membangun suatu komunikasi yang wajar atas dasar kemanusiaan. "Saya memandang insiden yang terjadi di perbatasan itu sebagai sesuatu yang telah melukai rasa kemanusiaan ketika upaya rekonsiliasi dan persahabatan tengah dibangun oleh kedua negara untuk menumbuhkan rasa saling percaya sebagai negara tetangga terdekat," katanya. Guna meredam gejolak semacam itu terjadi di kemudian hari atau pada masa-masa yang akan datang, Uskup Agung Kupang kelahiran Manado, Sulawesi Utara, itu mengharapkan perlu terus membangun diplomasi yang jujur atas dasar rasa kemanusiaan oleh kedua negara. "Upaya diplomatik harus dikembangkan lebih jujur atas dasar rasa kemanusiaan, baik antar-pemerintahan kedua negara maupun aparat keamanan kedua negara yang menjalankan tugas pengamanan di perbatasan," tambahnya. Ia mengharapkan agar petugas keamanan Timor Leste lebih menghormati hak-hak warga sipil, seperti yang berlaku di seluruh dunia, dengan menghilangkan sentimen masa lalu yang sudah terkubur seiring dengan perkembangan zaman. "Yang lalu...biarlah ia berlalu karena Indonesia dan Timor Leste telah memiliki hak yang sama sebagai negara. Marilah kita berpikir secara rekonsiliatif dengan mengedepankan hal-hal yang bersifat nasional maupun internasional," ujarnya. Sebagai anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste, ia melihat insiden tersebut telah melukai rasa kemanusiaan yang tengah dibangun kedua negara dalam wujud rekonsiliasi dan persahabatan yang sederajat di antara kedua negara bertetangga. (*)
Copyright © ANTARA 2006