Jakarta (ANTARA News) - Peneliti ekonomi dari The Habibie Center, Zamroni Salim, menilai pemerintah hingga saat ini belum memiliki kejelasan soal arah kebijakan energi padahal ada ancaman pembengkakan defisit anggaran pada tahun 2011.
"Sampai sekarang belum ada kejelasan kebijakan dari pemerintah," kata Zamroni dalam dialog demokrasi The Habibie Center di Jakarta, Rabu.
Ia menyebutkan, perubahan posisi Indonesia dari eksportir minyak menjadi importir berpengaruh kepada sisi penerimaan negara, yang sekarang ini sangat rentan terhadap perubahan harga minyak dunia.
Menurut dia, subsidi yang dijanjikan tentu akan membuat defisit APBN jauh lebih besar dari yang ditetapkan.
Pemerintah tampak masih ragu dan selalu ragu untuk mengambil tindakan terkait dengan konsumsi dan subsidi BBM ini, apakah membatasi kuota pemakaian jenis premium, menaikkan harga premium atau tidak kedua-duanya.
"Yang jelas harga pertamax sebagai salah satu jenis BBM yang non subsidi telah bergerak mengikuti harga pasar. Perbedaan harga yang tinggi antara yang subsidi dan non subsidi menjadikan konsumen untuk tidak terlalu melirik jenis non subsidi," katanya.
Indonesia pernah mengalami 'booming' minyak bumi pada tahun 1970-an dan 1980-an. Sektor migas merupakan urat nadi perekonomian Indonesia.
Namun seiring berjalannya waktu, produksi minyak mentah mengalami penurunan yang diakibatkan oleh semakin terbatasnya stok minyak di perut bumi Indonesia, juga kemampuan Pertamina yang tidak bisa berkembang.
Pertamina tidak mampu mandiri dan sering kali mengelola blok minyak dengan perusahaan asing, bahkan menyerahkan begitu saja.
"Kini Indonesia adalah negara importir minyak bumi. Produksi yang hanya sekitar 950 ribu barel per hari tidak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri," kata Zamroni.
Menurut dia, ketahanan energi bisa dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai cara di antaranya adalah penggunaan energi/sumber daya alam mineral/tambang yang lebih diprioritaskan untuk industri dan penggunaan dalam negeri.
Selama ini, sumber daya mentah yang bisa dijadikan energi lebih banyak dijual langsung keluar negeri, sementara industri di dalam negeri sering dihadapkan pada kekurangan pasokan energi listrik, batu bara, gas, dan lainnya.
Konservasi dan pencarian sumber daya energi terbarukan masih sebatas dalam tataran 'roadmap' pengembangan energi sampai 2025. Saat ini banyak industri energi alternatif yang bisa dikatakan 'hidup segan mati tak mau'.
"Sebagai contoh industri biodiesel hanya beberapa saja yang masih beroperasi karena masalah bahan baku dan kalah bersaing dengan produk impor BBM," kata Zamroni.
(ANTARA)
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011